Terdakwa korupsi proyek kasus e-KTP Setya Novanto saat menjalani sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/1/). Dalam sidang tersebut hakim menolak nota keberatan Setya Novanto atas dakwaan JPU terkait kasus dugaan korupsi mega proyek e-KTP dengan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Nama Puan Maharani dan Pramono Anung dalam “lirik lagu” yang dinyanyikan mantan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov). Dalam sidang lanjutan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta, Kamis (22/3) lalu, Setnov “bernyanyi” dengan menyebut kedua nama di atas sebagai penerima aliran dana e-KTP.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Juntho pun angkat bicara mengenai hal tersebut. Ia mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menindaklanjuti nyanyian Setnov ini.

“Nama baru ini nggak bisa dipungkiri harus diproses. Melakukan investigasi atau penelusuran. Banar atau tidak, perlu dikejar KPK. Benar atau tidak Puan atau Pram menerima, itu perlu dikejar,” ujar Emerson dalam diskusi ‘Nyanyi Ngeri Setnov’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3).

Baik Puan maupun Pramono sendiri telah sama-sama membantah ucapan Setnov. Meskipun demikian, Emerson tak ingin mempercayai begitu saja bantahan tersebut.

Ia merujuk pada jumlah uang yang diterima Setnov dalam kasus mega korupsi ini. Berdasar dakwaan Jaksa KPK, mantan Ketua Umum Partai Golkar ini menerima 7,3 juta dollar AS atau senilai Rp 71 miliar.

Emerson berpendapat, sangat tidak mungkin jika uang sebesar itu tidak didistribusikan kepada anggota DPR lainnya.

“Dalam korupsi, nggak ada partai oposisi. Pasti rata pembagiannya. Makanya distribusi itu nampaknya mereka mencoba membuat semua pihak kecipratan,'” kata dia.

Puan Maharani dan beberapa politisi PDIP sendiri kerap berdalih jika saat pengadaan proyek e-KTP berlangsung, partainya merupakan partai oposisi.

“Dalam korupsi enggak kenal oposisi atau tidak. Semua pihak bisa terima, kalau tidak bisa ramai,” imbuh Emerson.

Emerson lalu mencontohkan dalam kasus korupsi KemenPUPR yang melibatkan Anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti.

“Jadi kasus PUPR semua fraksi nerima, menurut Damayanti ya. Dalam konteks ini artinya tidak ada yang namanya oposisi tidak menerima,” tutur Emerson.

Selain itu, dia juga menyoroti pengakuan Novanto soal aliran uang ke Rapimnas Golkar Rp 5 milir. Ini juga harus dibuktikan KPK.

“Ini harus ditelusuri. Ada 3 buket anggaran yang terima dan ada yang masuk ke Rapimnas Golkar. Walau selayaknya orang yang nerima, biasanya bantah, KPK tetap wajib mengejar bukti-bukti itu. Paling tidak, kalau ada bukti harus ditelusuri,” tegasnya.

Namun, Emerson tidak ingin mengungkap seberapa besar prediksinya atas kebenaran ucapan Novanto. Dia kemudian membandingkan dengan ‘nyanyian’ M Nazaruddin yang sebagian besar benar.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan