Taujih Syeikh DR Yudi Latif (kiri) bersama Khodim Zawiyah Arraudhah Al Akh Muhammad Danial Nafis (kanan) saat acara Kajian Spesial Ramadhan di Zawiyah Arraudah, Jalan Tebet Barat VIII, No 50, Jakarta Selatan, Minggu (4/6/2017). Dalam kajian Spesial Ramadhan ini yang bertamakan "Pancasila dalam Tasawuf Islam". AKTUAL/Munzir
Bulan puasa hadir di tengah krisis kepercayaan dan kelemahan daya saing bangsa di berbagai segi. Apa artinya puasa bagi komunitas bangsa dengan mentalitas pecundang? Bukankah sejak awal puasa merupakan tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan)?
Beberapa hari setelah kemenangan pasukan Muslim (yang kecil) atas pasukan Quraisy (yang besar) pada Perang Badar (9 Ramadhan 624 M), Nabi pun mewajibkan kaum Muslim berpuasa pada bulan Ramadhan yang berlaku efektif setahun kemudian. Bisa diartikan sebagai tanda kaum Muslim memperingati furqan Badar yang monumental.
Jika tradisi berpuasa merupakan tanda furqan, penyelamatan dan kemenangan apakah yang telah kita capai selama ini yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi kuat dalam kehidupan? Inilah pertanyaan yang selama bulan Ramadhan patut direnungkan. Agar setiap bulan Ramadhan tiba, kita tidak terus-menerus dipermalukan oleh defisit amal dan pencapaian.
Demi kemenangan, puasa menekankan ketabahan berjuhud. Bagi kaum miskin, “tak terlalu berduka atas apa yang luput darimu” (QS 57: 23); bagi kaum elit, “tak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya padamu” (QS 57: 23).
Lewat furqan Badar, Al-qur’an mengajarkan teologi kemenangan. Diizinkan bela diri bagi yang terusir dan teraniaya (QS 22: 39). Karena, sekiranya kejahatan sebagian manusia tidak dicegah oleh sebagian lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan (QS 22: 40). Tujuan bela diri untuk mengembalikan harmoni dan rekonsiliasi, bukan melanggengkan permusuhan. Idealnya, tak perlu bertempur untuk mempertahankan hal-hal luhur.
Tuhan hanya akan memberi kemenangan sekiranya orang-orang yang diberi kedudukan di muka bumi mau bershalat (bertakwa pada Allah) dan berzakat (memajukan kesejahteraan umum), mengembangkan kebaikan, dan mencegah keburukan dengan menegakkan hukum yang adil (QS 22: 41).
Alhasil, kemenangan bisa dicapai jika keadilan ditegakkan, kesejahteraan dikembangkan, ketakwaan dihidupkan, dan kedamaian disuburkan. Ibadah puasa, selain sebagai peringatan atas momen kemenangan, harus juga menjadi momen refleksi dan pelatihan diri untuk meraih kemenangan sejati.
Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin