Puisi Sukmawati dan dan gerakan anti Islam Indonesia. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Belum genap dua tahun setelah ucapan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap menghina Islam, kali ini publik diramaikan oleh puisi berjudul ‘Puisi Ibu Indonesia’.

Dibacakan oleh Sukmawati Soekarnoputri pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya yang menjadi sebuah acara dalam Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta, 28 Maret 2018 silam, beberapa kalimat dalam teks puisi tersebut dianggap telah menghinakan Islam.

Tak pelak, puisi ini pun menuai banyak protes dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam hingga politisi Senayan. Sukmawati pun dianggap telah menyakiti hati umat Islam dan diberi predikat penista agama, setelah Ahok.

Ahli Filologi asal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Oman Fathurahman menyatakan, sebuah puisi memang tidak dapat diketahui maknanya secara tersurat.

“Teks yang ditulis dalam abad 17-18 sekalipun, itu untuk mengetahui makna yang sebenarnya, kita harus mengetahui maksud dari pengarang, tidak bisa kita mengklaim bahwa pemahaman kita atas teks itu yang paling benar,” ucap Oman ketika dihubungi Aktual, Jumat (6/4) lalu.

Melacak sebuah maksud pengarang, dikatakan Oman, harus juga memahami konteks pada zaman itu sehingga memudahkan untuk menafsirkan teks tersebut.

Dalam kasus tertentu, jika sang pengarang masih hidup, seorang peneliti dapat mewawancarai langsung kepada pengarang terkait maksud teks itu.

Penjelasan dari pengarang nantinya dapat menjadi indikator bagi seorang peneliti untuk menafsirkan teks yang dibuatnya.

Pun demikian dengan ‘Puisi Ibu Indonesia’ yang dibacakan Sukmawati. Menurut Oman, klarifikasi dari putri Presiden pertama RI, Ir. Soekarno itu, dapat menjawab apakah memang puisi ini memiliki maksud untuk menghina Islam atau sebaliknya.

“Karena pengarangnya masih ada, sebenarnya lebih mudah melacak the others intention si pengarang. Dia (Sukmawati) sudah menjelaskan bahwa maksudnya sama sekali tidak untuk menghina umat Islam,” katanya.

Sukmawati sendiri memang telah memberikan klarifikasinya sejak 2 April 2018 lalu terkait puisi yang dibacakannya ini.

Awalnya, ia bersikeras jika isi puisinya merupakan sebuah realita yang ada di Indonesia tanpa mengandung unsur SARA.

“Mengarang puisi itu seperti mengarang cerita. Saya budayawati, saya menyelami bagaimana pikiran dari rakyat di beberapa daerah yang memang tidak mengerti syariat Islam, seperti di Indonesia timur, Bali dan daerah lain,” ungkapnya.

Ia menambahkan, yang disampaikannya dalam puisi itu merupakan suatu pendapat yang jujur.

“Soal kidung ibu pertiwi Indonesia lebih indah dari alunan azanmu, ya boleh aja dong. Nggak selalu orang yang mengalunkan azan itu suaranya merdu. Itu suatu kenyataan. Ini kan seni suara ya. Dan kebetulan yang menempel di kuping saya adalah alunan ibu-ibu bersenandung, itu kok merdu. Itu kan suatu opini saya sebagai budayawati,” ujar Sukmawati.

“Jadi ya silakan orang-orang yang melakukan tugas untuk berazan pilihlah yang suaranya merdu, enak didengar. Sebagai panggilan waktu untuk salat. Kalau tidak ada, Akhirnya di kuping kita kan terdengar yang tidak merdu,” sambungnya.

Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada 4 April 2018 lalu, ia pun seakan menelan ludahnya sendiri. Ia menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud untuk menghina dan menyakiti umat Islam dalam puisi yang dikarangnya pada 2006 silam itu.

“Saya rangkum semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa untuk tidak melupakan jati diri Indonesia,” kata Sukmawati.

“Saya adalah seorang muslimah yang bersyukur dan bangga akan keislaman saya, putri seorang Proklamator Bung Karno yang dikenal juga sebagai tokoh Muhammadiyah dan juga tokoh yang mendapatkan gelar dari Nahdlatul Ulama sebagai Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah,” imbuhnya.

Selain itu, ia pun meminta maaf lantaran puisinya telah menyakiti hati semua umat Islam.

Masih dalam kesempatan yang sama, Sukmawati juga menyebutkan bahwa dirinya juga tergerak oleh cita-cita Bung Karno untuk semakin memahami masyarakat Islam Nusantara yang berkemajuan.

“Dalam hal ini, Islam yang bagi saya begitu agung, mulia dan indah. Puisi itu juga merupakan bentuk penghormatan saya terhadap Ibu Pertiwi Indonesia yang begitu kaya dengan tradisi kebudayaan dalam susunan masyarakat Indonesia yang begitu berbhineka namun tetap tunggal ika,” paparnya.

Oman sendiri mengaku telah mengetahui klarifikasi dari Sukmawati terkait ‘Puisi Ibu Indonesia’. Menurutnya, klarifikasi yang telah disebutkan di atas sudah dapat dijadikan jawaban atas maksud dari Sukmawati ketika membuat puisi tersebut.

“Nah kalau si pengarang sendiri sudah mengatakan seperti itu, lagi-lagi dari perspektif keilmuan saya, tentu saja kita harus percaya kepada maksud pengarang,” tegasnya.

Namun demikian, lanjut Oman, terdapat aliran sastra lain yang berpendapat bahwa maksud dari pengarang dapat ditafsirkan tanpa perlu adanya klarifikasi langsung dari sang pengarang.

Aliran sastra ini disebutnya berpegang pada struktur teks tersebut. Artinya, seorang pembaca memiliki kebebasan untuk menafsirkan sebuah teks ketika teks itu telah dibuat.

“Jadi enggak penting yang dimaksud pengarang apa, tapi struktur itu sebagai bagian dari independen, kalau teks itu sudah dibuat kita berhak untuk menafsirkannya,” jelas Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Ketika ditanya, Oman lebih memilih aliran sastra yang menggunakan klarifikasi dari pengarang sebagai pisau analisis untuk membedah puisi Sukmawati. Ketika memberi penjelasan kepada Aktual, ia berkali-kali menitikberatkan pada hal tersebut.

“Kalau tidak ada klarifikasi, kita harus mencari-cari yang tersirat. Tapi dia kan sudah klarifikasi, jadi sudah tersurat,” tuturnya.

Ditanya lebih spesifik tentang pendapatnya tentang puisi ini, mantan Dekan FAH UIN Jakarta ini mengakui jika secara garis besar, ‘Puisi Ibu Indonesia’ memang berupaya membandingkan antara dua hal, yaitu kebudayaan dan nilai-nilai agama.

Menurut beberapa pihak, upaya perbandingan yang dinilai telah menghina agama Islam terdapat dalam bait pertama dan bait ketiga.

Dalam bait pertama, Sukmawati mencoba membandingkan sari konde dengan cadar atau hijab. Menurut Oman, perbandingan ini masih dapat diperdebatkan lantaran sebagian besar umat Islam memang menganggap cadar merupakan bagian dari budaya.

Namun, lanjutnya, seseorang tetap tidak dibenarkan dan tidak memiliki hak sama sekali untuk melarang penggunaan cadar.

“Orang pakai cadar dan selama tidak mengganggu kepentingan umum, itu tidak perlu dilarang,” katanya.

Sedangkan pada bait ketiga, yang menyebutkan bahwa suara kidung lebih merdu dari suara adzan, Oman tak membantah jika kalimat ini memang berupaya membandingkan budaya dengan agama.

“Kalau suara adzan, kalau ini jelas bagian dari keagamaan. Itu sensitif memang,” ucapnya.

Ia mengakui jika apa yang dibacakan memang memang memiliki tingkat sensifitas yang tinggi, terlebih Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.

Meskipun bukan sebuah negara agama, lanjut Oman, Indonesia juga bukan sebuah negara sekuler yang menolak nilai-nilai agama.

“Tentu saja tidak bijak bagi Sukmawati atau siapa pun itu, menyampaikan hal yang sensitif, itu harus dipertimbangkan kembali. Apalagi sekarang sudah memasuki tahun politik,” katanya dengan bijak.

Sejak Era Kolonial

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan