Jakarta, Aktual.com – Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan jumlah peraturan atau regulasi yang berlebihan dan tumpang tindih seringkali menjerat aparat negara itu sendiri.
“Ternyata banyak aparat pemerintah yang terjerat oleh peraturan internal sendiri, jadi regulasi itu boomerang bagi aparatur sendiri,” ujar Oce di Jember, Jawa Timur, Senin (13/11).
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Pukat UGM atas 50 putusan Pengadilan Tipikor terkait dengan pelanggaran yang berbentuk penyalahgunaan wewenang di pemerintahan.
Dalam putusan-putusan tersebut Oce mengatakan pihaknya menemukan sebagian besar penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparatur negara yang melanggar peraturan-peraturan yang mereka buat sendiri, baik itu Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, hingga Surat Edaran.
“Jadi bisa dikatakan 60 persen korupsi terjadi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang di pemerintahan, bentuknya adalah pelanggaran peraturan internal itu sendiri,” ujar Oce.
Lebih lanjut Oce mengatakan perlu dipikirkan bahwa jumlah peraturan yang berlebihan dan tumpang tindih dan menimbulkan konflik, memiliki potensi untuk merugikan aparatur negara sendiri.
Sebagai contoh Oce mengatakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) bisa jadi bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), sehingga Pemerintah Daerah pada akhirnya akan mengalami kesulitan.
“Mana yang mau diikuti, begitu dia ikut Permendagri, tentu dia tidak mengikuti Permenkeu, nah akhirnya dia akan disalahkan oleh penegak hukum padahal belum tentu intensinya dia untuk melanggar hukum,” ujar Oce.
Selanjutnya berdasarkan riset atas 50 putusan tersebut Oce mengatakan bahwa pengadilan tidak akan berbelit-belit dalam menjatuhkan putusan, artinya aparatur pemerintah tersebut telah dianggap melanggar aturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri meskipun aturan tersebut hanya berupa surat edaran (SE).
“Dari riset yang saya buat sekitar 15 persen perkara, kalau melanggar petunjuk umum seperti surat edaran misalnya, itu bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi,” ujar Oce.
Pada akhirnya pejabat negara dalam membuat aturan juga harus berpikir ke depan, apakah kebijakan tersebut nantinya melahirkan risiko hukum yang tinggi kepada pejabat-pejabat di pemerintahan itu sendiri.
“Maka jangan menerbitkan peraturan tanpa memikirkan risiko hukumnya ke depan,” pungkas Oce. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka