Yogyakarta, Aktual.com – Kasus kekerasan yang melibatkan aparat Polri kembali terjadi. Kali ini menimpa seorang pelajar SMK di Yogyakarta bernama Andika. Dia diduga dianiaya hingga tewas oleh anggota Ditsabhara Polda DIY.
Tidak terima, keluarga korban lantas mengadukan kasus ini ke LBH Yogyakarta. Subandi dan Hariyanti, kedua orang tua korban, mengharapkan pelaku penganiayaan hingga sebabkan kematian terhadap putranya dapat diproses hukum dengan seadil-adilnya.
Peristiwa terjadi tanggal 29 April 2016 lalu. Terjadi lakalantas tabrakan sesama motor yang melibatkan Andika Dwi Asrofi (17) dengan seorang anggota Polres Sleman bernama Eko.
Buntut dari tabrakan itu, Eko yang masih berada di lokasi menghubungi istrinya bernama Fentri dan adik iparnya, Bripda Bayu Kusumo Putro, seorang anggota Ditsabhara Polda DIY. Sedangkan Andika menghubungi salah seorang temannya bernama Yogi.
Setiba di lokasi, berdasar penuturan Subandi (ayah Andika), Yogi menyaksikan Bripda Bayu melakukan pemukulan terhadap Andika di bagian muka sebelah kanan. Alasannya, Yogi dianggap mabuk saat mengendarai motor hingga menyebabkan tabrakan. Pukulan Bayu ternyata berakibat fatal. Andika ambruk dapat pukulan itu.
Yogi lantas membawa Andika ke RSUD Sleman. Tapi karena kondisi terus memburuk, Andika dirujuk ke RS Bethesda Yogya. Nahas, akibat pembekuan darah di kepala sudah mencapai otak, Andika dinyatakan meninggal dunia.
“Dari hasil pemeriksaan medis tidak ada satupun bukti yang menyatakan korban Andika berada di bawah pengaruh alkohol,” tegas Edo Emanuel Gobay, dari LBH Yogyakarta, Selasa (7/6).
Kasus ini sudah dilaporkan keluarga korban ke bagian Reskrim dan Propam Polda DIY. Akan tetapi, hingga saat ini penyidik belum menetapkan pelaku (Bripda Bayu) sebagai tersangka yang telah melakukan tindak aniaya yang mengakibatkan matinya seseorang.
Penyidik pula telah memeriksa 12 orang saksi meski hasil pemeriksaan juga tidak kunjung dipublikasi. Padahal, menurut Edo, jika penyidik profesional harusnya dalam satu bulan sudah ada penetapan tersangka. Mengingat semua unsur sudah terpenuhi, mulai alat bukti, saksi, pelaku, korban dan lain-lain.
“Tapi penyidik malah lamban dan tidak serius,” kecam Edo.
Ketidakseriusan penyidik menurut Edo juga terlihat dari pasal yang digunakan. Pelaku hanya dijerat pasal penganiayaan ringan, yaitu Pasal 352 KUHP yang ancaman pidananya hanya 3 bulan.
Padahal, tindakan pelaku telah menyebabkan kematian seseorang sehingga merupakan tindak penganiayaan berat. Jika penyidik menjalankan prinsip ‘fair trail’, seharusnya pelaku dijerat Pasal 351 ayat 3 dengan ancaman 7 tahun penjara. Terlebih, korban masuk kategori anak sehingga harus dipertimbangkan aturan-aturan hukum yang tertera dalam UU Perlindungan Anak.
Dia pun menduga ada upaya pengalihan penyidik dalam kasus ini. Yakni dari tindak kriminal menjadi tindak indisipliner belaka, dimana pelaku hanya dilaporkan ke Propam. Kasus ini pun menambah deret panjang catatan kekerasan yang dilakukan oknum polisi di DIY. “Bukti bahwa belum ada reformasi di tubuh Kepolisian,” kata Edo.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis