Dili, Aktual.com – Aksi unjuk rasa yang dilakukan lebih dari 10 ribu warga Republik Demokratik Timor Leste atas tindakan provokasi Australia masih berlangsung pada Rabu (23/3). Unjuk rasa digelar di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Dilli. Massa menuntut agar dilakukan perundingan ulang terkait dengan pengelolaan dan batas laut dengan Australia yang dinilai sangat merugikan Timor Leste.

Pengunjuk rasa terdiri atas mahasiswa dan veteran perjuangan panjang Timor Leste untuk kemerdekaan, para pegawai pemerintah, siswa sekolah menengah atas, hingga aktivis lembaga swadaya masyarakat dengan dimotori elemen MKOTT (Movementu Kontra Okupasun Tasi Timo) atau Movement Againts Occupation of Timor Sea.

“Ribuan warga Timor Leste ini bergerak untuk mendukung langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Timor Leste yang diwakili Xanana Gusmão,” kata Pelaksana Harian Associacao Dos Combatentes Da Brigada Negra (ACBN), Nuno Corvelo Lolaran, Rabu (23/3).

Xanana, menurut dia, sedang berkunjung ke Afganistan untuk mengikuti Konferensi Negara-Negara Miskin. Garis batas wilayah kelautan Australia di Laut Timor dinilai pendemo terlalu masuk ke area kelautan Timor Leste atau tidak sesuai dengan hukum internasional. Artinya, Australia telah mengekspansi atau mengokupasi wilayah laut Timor Leste.

Sementara itu mantan Presiden dan Perdana Menteri Timor Timur, Xanana Gusmao, menyerukan rakyatnya melakukan aksi protes. Unjuk rasa yang berlangsung pada 22-23 Maret 2016 itu merupakan yang terbesar sejak negara tersebut melepaskan diri dari Indonesia pada 1999.

“Kita harus berdiri teguh dan mengangkat suara bahwa Canberra harus melakukan negosiasi dengan kita (Timor Leste),” ujar Xanana.

Terpisah, Perdana Menteri Timor Leste Rui Araujo menulis kepada Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull awal tahun ini guna meminta mereka membicarakan batas laut permanen di Laut Timor.

Turnbull menanggapinya dengan menawarkan pembicaraan bilateral, tapi menolak permintaan mengadakan diskusi khusus tentang isu batas maritim.

Kondisi terkini, para pengunjuk rasa berteriak “lepaskan minyak Timor” dan “negosiasi sekarang” serta menuntut kasus ini dibawa kembali ke pengadilan.

“Sebagai negara besar dan kuat di wilayah tersebut, Australia tidak harus menggunakan kekuatannya untuk terus mencuri masa depan kami dari Laut Timor,” kata Juvinal Dias, penyelenggara protes dari Gerakan Melawan Pendudukan Laut Timor.

“Australia harus datang ke meja dengan itikad baik untuk bernegosiasi dengan Timor Leste (Timor Timur).”

Banyak mantan aktivis Timor Leste dari Australia akan ikut unjuk rasa, yang direncanakan digelar pekan ini di Melbourne, Sydney, Adelaide, Jakarta, Manila, dan Kuala Lumpur, untuk menandai peringatan Australia menarik pengakuannya atas batas maritim sesuai dengan hukum internasional.

Seperti diketahui, perjanjian Laut Timor antara Timor Leste dan Australia ditandatangani pada 20 Mei 2002 (hari restorasi kemerdekaan Timor Leste) yang intinya menyepakati eksplorasi minyak bumi secara bersama di Laut Timor oleh kedua negara.

Wakil penandatangan saat itu adalah John Howard (Australia) dan Mari Alkatiri (Timor Leste). Perjanjian ini mulai diberlakukan pada 2 April 2003, setelah adanya pertukaran nota diplomatik, terhitung sejak 20 Mei 2002.

Perjanjian Laut Timor memiliki masa berlaku selama 30 tahun sejak tanggal penandatanganan dengan ketentuan perbatasan dasar laut kedua negara memiliki ketetapan yang jelas. Namun, dalam Perjanjian Maritim Laut Timor pada 2007, masa berlaku perjanjian ini diperpanjang hingga 2057.

Perjanjian ini sendiri belum terkait dengan adanya perjanjian teritorial wilayah kelautan kedua negara. Perjanjian ini disahkan untuk menggantikan Perjanjian Celah Timor yang ditandatangani Australia dan Indonesia pada 11 Desember 1989. Perjanjian tersebut tidak lagi berlaku setelah Timor Leste merdeka dari Indonesia.

Meskipun sedikit berbeda, Perjanjian Laut Timor meletakkan Timor Leste pada posisi yang sama dengan Indonesia dalam Perjanjian Celah Timor.

Timor Leste telah kehilangan sekitar USD 5 miliar (Rp 66 triliun) royalti dan penerimaan pajak di Laut Timor sejak kemerdekaan. Padahal angka tersebut cukup untuk membiayai semua anggaran negara selama tiga tahun.

Negara yang terbilang masih muda tersebut menegaskan bahwa mereka akan sejahtera dari royalti dan pajak eksploitasi Laut Timor jika norma-norma Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dipatuhi Australia. Jika merujuk pada UNCLOS, Laut Timor, yang memiliki cadangan minyak dan gas, akan terletak dalam wilayah mereka.

Artikel ini ditulis oleh: