Namun, Ali mengungkapkan, paska Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015, Kementerian Dalam Negeri justru menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Indonesia untuk tetap memungut PKB dan BBNKB terhadap alat berat, pada Agustus 2016 atau lima bulan setelah dibacakannya putusan tersebut. Kemendagri berdalih bahwa pungutan tersebut masih diatur dalam UU PDRD.

Karenanya, Ali pun menuding bahwa pemerintah telah mengabaikan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015. Padahal, lanjutnya, putusan MK merupakan produk hukum yang bersifat final dan mengikat atau erga omnes yang berarti tidak berlaku terhadap para pihak yang berperkara saja, melainkan juga berlaku bagi peraturan perundang-undangan lainnya.
“Putusan MK pada dasarnya melahirkan norma hukum yang setara dengan undang-undang, sehingga dengan adanya Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015 yang memutuskan alat berat bukan kendaraan bermotor, maka norma lain yang bertentangan dengan putusan dimaksud harus batal demi hukum termasuk pengertian kendaraan bermotor dan penarikan PKB dan BBNKB dalam UU PDRD,” jelas Ali menegaskan.
Lebih lanjut, Ali juga menyayangkan pernyataan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boodiarso Teguh Widodo yang menyebutkan bahwa alat berat masih bisa dipungut pajaknya lantaran dalam pertimbangan MK disebutkan masa transisi selama tiga tahun.
Sikap Pemerintah yang mempertahankan Alat Berat sebagai bagian dari Kendaraan Bermotor dan tetap menarik PKB terhadap Alat Berat, menurut Ali, merupakan tindakan yang inkonstitusional karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
“Amar putusannya tidak disebutkan masa transisi pelaksanaan atas putusan MK tersebut. Artinya, saat putusan MK dibacakan maka berlaku aturan baru bahwa alat berat tidak dipungut pajaknya. Amar putusan dengan pertimbangan putusan, statusnya tinggian amar dong,” ujarnya.
Teuku Wildan A

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan