Moskow, Aktual.com – Presiden Rusia Vladimir Putin telah memberikan izin kepada hedge fund
atau dana investasi yang dikumpulkan dari berbagai investor di Amerika Serikat, yakni 683 Capital Partners, LP, untuk membeli sekuritas dari perusahaan-perusahaan Rusia yang sebelumnya dimiliki oleh sejumlah pemegang saham asing.
Dilansir dari Reuters, keputusan dalam sebuah dekrit presiden ini diumumkan dalam sebuah dekrit presiden pada Senin (18/3), menandai langkah baru dalam kebijakan ekonomi Rusia di tengah sanksi internasional yang masih berlangsung akibat konflik di Ukraina.
Langkah ini mencerminkan semakin ketatnya kontrol Rusia terhadap transaksi aset asing, terutama di sektor energi dan keuangan, yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan langsung dari Putin, sejak operasi militer Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 lalu. Sejak itu Rusia telah memperketat regulasi terkait kepemilikan asing di sektor strategis untuk mempertahankan stabilitas ekonomi domestik.
Dengan adanya dekrit terbaru Putin, maka 683 Capital Partners bisa membeli sekuritas milik perusahaan Rusia yang sebelumnya dimiliki oleh sekitar selusin entitas keuangan Barat. Beberapa entitas yang disebutkan dalam dekrit tersebut termasuk Jane Street, Templeton Asset Management, Franklin Advisers, dan Carrhae Capital.
Selain memberikan izin kepada 683 Capital Partners, dekrit tersebut juga mengatur bahwa dua perusahaan Rusia, yakni Cepheus-2 dan Modern Real Estate Funds, diizinkan untuk membeli sekuritas yang telah diakuisisi oleh hedge fund AS tersebut. Transaksi ini dapat dilakukan tanpa memerlukan persetujuan tambahan dari Putin.
Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi Rusia untuk mengendalikan aset keuangan yang sebelumnya dikuasai investor asing. Dengan memberikan izin khusus kepada hedge fund AS tersebut, pemerintah Rusia dapat memastikan bahwa kepemilikan saham perusahaan domestik tetap berada dalam kendali entitas yang disetujui oleh Moskow.
Untuk diketahui, baru-baru ini sekutu-sekutu Ukraina di Eropa, diantaranya Polandia, Inggris Raya, dan negara-negara Baltik seperti Lithuania, Latvia, dan Estonia sedang mempertimbangkan untuk menyita aset-aset Rusia yang dibekukan senilai 300 miliar dolar AS, lalu menggunakan uang tersebut untuk memberikan kompensasi kepada Ukraina, mendukung militernya, serta membantu membangun kembali rumah-rumah dan kota-kota yang hancur.
Dilansir dari TIME, saat ini, aset-aset tersebut masih dibekukan, dan para penentang penyitaan memperingatkan bahwa tindakan tersebut dapat melanggar hukum internasional dan mengganggu stabilitas pasar keuangan.
Awalnya, uang tersebut berada dalam bentuk obligasi pemerintah jangka pendek yang disimpan sebagai cadangan untuk bank sentral Rusia. Kini, sebagian besar obligasi tersebut telah jatuh tempo dan berubah menjadi uang tunai yang menumpuk di bank kustodian. Sekitar 210 miliar euro berada di negara-negara anggota Uni Eropa, dengan porsi terbesar, sekitar 183 miliar euro di Euroclear, sebuah lembaga kliring Belgia untuk transaksi keuangan. Jumlah lainnya berada di lembaga keuangan di Inggris Raya, Jepang, Prancis, Kanada, Swiss, Australia, dan Singapura.
Sejauh ini, negara-negara demokrasi Kelompok Tujuh telah menggunakan bunga atas uang tunai yang dibekukan untuk mendanai bantuan awal senilai 50 miliar dolar AS kepada Ukraina dengan meminjam dari pendapatan bunga di masa mendatang. Solusi tersebut menghindari komplikasi hukum dan keuangan yang terkait dengan penyitaan langsung uang tersebut dan pemberiannya kepada Ukraina.
Bank Dunia memperkirakan bahwa membangun kembali Ukraina akan menelan biaya 524 miliar dolar AS selama 10 tahun, yang sudah lebih dari total aset Rusia. Jika satu atau lebih pemerintah Barat menolak menyita aset tersebut, pemerintah lain yang ingin melakukannya masih dapat melanjutkannya.
Kremlin sendiri telah berulang kali memperingatkan bahwa penyitaan aset Rusia akan melanggar hukum dan mengikis kepercayaan investor. ”Kami memandang niat tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum, dan setiap upaya untuk memenuhinya akan menimbulkan konsekuensi hukum yang sangat serius,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada wartawan awal bulan ini.
Secara teori, Rusia dapat menyita aset sekitar 1.800 perusahaan Barat yang terus berbisnis di Rusia. Undang-undang terbaru akan memungkinkan penyitaan perusahaan oleh negara yang berbasis di negara-negara yang ditetapkan sebagai ”tidak bersahabat”, demikian laporan media berita Rusia.
Namun, Rusia tidak banyak mengambil keuntungan. Perusahaan asing telah menderita kerugian lebih dari 170 miliar dolar AS sejak 2022, sering kali karena mereka memutuskan untuk meninggalkan Rusia atau kembali ke sana, menurut Sekolah Ekonomi Kyiv.
(Indra Bonaparte)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain