Jakarta, Aktual.com – Kabar gembira berhembus bagi para mantan narapidana yang ingin bertarung di Pilkada. Menyusul anulir yang diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap larangan mantan napi untuk mencalonkan diri sebagai peserta Pilkada.
MK memutuskan Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik.
“Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” kata Ketua Majelis Anwar Usman saat membacakan amar putusan, di Jakarta, Kamis (9/7).
MK juga menghapus Penjelasan Pasal 7 huruf g yang memuat empat syarat bagi mantan narapidana agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada berbunyi: “Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung lima tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.” Dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
“Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan,” kata Anggota Majelis Hakim Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangannya.
Patrialis mengatakan, UU tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945.
“Apabila UU membatasi hak mantan narapidana tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah sama saja UU telah memberikan hukuman tambahan. Sedangkan UUD 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warganya,” katanya.
MK menyatakan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum (notoir feiten) pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak.
“Apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik, maka berlaku syarat kedua putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya,” kata Patrialis.
Permohonan ini diajukan oleh dua mantan terpidana, Jumanto dan Fathor Rasyid.
Mereka menilai Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada sewenang-wenang dan seolah pembentuk UU menghukum seseorang tanpa batas waktu.
Namun putusan MK tersebut tidak bulat karena dua anggota majelis menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna.
Maria mengatakan putusan Mahkamah (Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009) telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Maria mengatakan penafsiran terhadap ketentuan syarat tidak pernah dipidana telah selesai, sehingga syarat tidak pernah dipidana tetap dimaknai sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009.
Namun, lanjutnya, pembentuk UU seharusnya meletakkan empat syarat yang terdapat dalam penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada ke dalam norma Pasal 7 huruf g tersebut.
Artikel ini ditulis oleh: