Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT), M Firmansyah mengungkapkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) anggota (SP JICT), Dadi Mausup Cahyadi (Pekerja) terindikasi tidak sesuai prosedur dan aturan perUndang-Undangan yang berlaku. Pekerja tersebut dituduh melampaui kewenangannya dengan menyesuaikan secara berlebihan upah pokok 2017 terhadap delapan pekerja. Akibatnya, Pengusaha melakukan PHK.
“Pada 17 Januari 2018, secara sepihak Pengusaha transfer pesangon PHK. Namun pada 19 Januari 2018 Pekerja mengirim surat Penolakan dan mengembalikan Pesangon tersebut,” ujar Firmansyah dalam keterangan di Jakarta, Minggu (27/1).
Meurujuk pada keputusan PHK Direksi No KP.440/3/10/JICT-2017 terhadap Pekerja terindikasi kuat bertentangan dengan aturan dan Undang-Undang. Faktanya, penyesuaian upah pokok sudah sesuai aturan karena yang terjadi di JICT saat itu; pekerja dengan jabatan, departemen, job description, masa kerja dan grading yang sama, mendapatkan Upah Pokok Berbeda. Keputusan penyesuaian upah pokok terhadap delapan pekerja adalah hasil dari persetujuan Direksi, sedangkan Pekerja hanya berwenang mengusulkan.
“Usulan tersebut diteliti dan diterima Direksi JICT, terbukti dengan adanya paraf Dewan Direksi. Setelah itu diterbitkan SK Direksi No. UM. 338/1/1/JICT-2017 Tentang Penyesuaian Upah Pokok Pekerja JICT oleh Wakil Direktur Utama Riza Erivan sebagai dasar hukum Penyesuaian Upah Pokok delapan pekerja tersebut. Lagipula sesuai dengan UU No 40/2007, kewenangan menyesuaikan upah pekerja menjadi kewenangan dan tanggung jawab Direksi, bukan Pekerja,” terangnya.
Meurujuk proses PHK terindikasi melanggar Pasal 151 ayat (2) UU 13/2003 karena PHK diberlakukan efektif 30 Desember 2017 berdasarkan SK Direksi Nomor KP.440/3/10/JICT-2017 namun belum mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selain itu, dalam persidangan telah terbukti bahwa dalil Pengusaha mem PHK adalah hasil audit external.
“Faktanya, hasil audit tersebut tidak menyatakan secara konkret mengenai kesalahan pekerja dan risalah keputusan Direksi mengeni PHK telah terbit jauh sebelum hasil audit keluar,” jelasnya.
Hal ini makin membuktikan prosedur PHK sangatlah bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 UU No. 13/2003. Dalam Putusan MK No 37/PUU-IX/2011 terhadap penafsiran Pasal 155 ayat (2) memutuskan: Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 adalah bertentangan dengan UUD 1945
“Maka selama belum ada putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kedua belah pihak harus tetap melaksanakan hak dan kewajibannya,” jelasnya.
Menurutnya, PHK tersebut juga melanggar ketentuan Pasal 97 ayat 2 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) JICT karena tidak ada perundingan sebelumnya antara Pengusaha dengan Serikat Pekerja. “Jika menganggap Pekerja salah seharusnya Pengusaha melakukan teguran, Surat Peringatan maupun Skorsing bukan secara sepihak dan sewenang-wenang melakukan malpraktik PHK,” terangnya.
Pihaknya menolak keputusan PHK sepihak Pengusaha ( JICT) dan meminta Pengusaha membayar upah proses dari Januari 2018 sampai Januari 2019. Selain itu Pengusaha harus segera mempekerjakan kembail Pekerja tersebut. Pihaknya memohon Majelis Hakim M Djoenaidi, Lita Seruni dan Purwanto untuk memutuskan perkara No: 221/Pdt.G.Sus/PHI/ 2018/ Pn.Jkt.Sus dengan seadil-adilnya agar pekerja sebagai rakyat Indonesia dapat merasakan hadirnya hukum yang tegak bukan bengkok karena ulah Pengusaha.
“Kedepan jangan sampai atas nama pemberangusan pekerja oleh manajemen Hutchison di JICT, PHK yang melanggar Undang-Undang dan dilakukan secara sepihak sehingga menghilangkan hak dasar rakyat untuk bekerja, bisa leluasa dilakukan,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin