Tidak bisa dipungkiri, memang di tengah masyarakat kita masih saja ada pemahaman tentang tafsir agama yang menjurus kepada radikalisme untuk mencapai cita-cita kelompok dan golongan tertentu dalam membentuk sebuah negara berdasarkan agama. Mereka lupa akan sejarah berdirinya Kemerdekaan Bangsa ini melalui Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, yang dilanjutkan dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah seluruh syarat sebagai sebuah negara berdasarkan hukum internasional terpenuhi, yaitu adanya wilayah teritorial, masyarakat, hukum tertulis sebagai hukum dasar, pemerintahan yang sah, dan pengakuan dari negara-negara lain.
Bangsa ini telah melalui sejarah panjang dan pernah mengalami perang agama pada abad ke-7 Masehi, pada masa Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Saat itu, terjadi perseteruan antara Dinasti Sanjaya, yang beragama Hindu Siwa dan memerintah di bagian utara Kerajaan Mataram Kuno, dengan Dinasti Syailendra, yang beragama Buddha dan memerintah di bagian selatan Mataram Kuno. Kedua kerajaan tersebut berhasil disatukan oleh Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya melalui pernikahan politik dengan Pramordhawardani dari Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan, menurut para ahli sejarah, merupakan arsitek Candi Borobudur yang dibangun untuk menghormati istrinya, yang bergelar Resi Gunadarma, sekaligus mendirikan candi bercorak Hindu di selatan Yogyakarta, yaitu Candi Prambanan.
Sejarah menunjukkan bahwa persoalan agama dalam kaitannya dengan ketatanegaraan di Nusantara sebenarnya sudah selesai. Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, misalnya, saat Raja Hayam Wuruk memerintah, Mpu Prapanca, seorang sastrawan beragama Buddha, menulis Kakawin Negarakertagama. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan kondisi harmonis antara agama Hindu Siwa dan agama Buddha yang hidup berdampingan tanpa gesekan. Bahkan, Mpu Tantular menulis kitab Sutasoma, yang mengandung semboyan legendaris Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu.” Semboyan ini menjadi lambang negara kita karena mencerminkan cita-cita bersama para pendiri bangsa, yaitu membangun negara yang menghargai keberagaman agama, ras, suku, adat istiadat, dan bahasa daerah, dengan landasan nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika masih ada saudara-saudara kita yang ingin menciptakan negara berbasis agama melalui perjuangan radikal yang merugikan sesama saudara sebangsa. Pemikiran seperti ini menunjukkan kemunduran sejarah, kembali ke abad ke-7 awal.
Bung Karno dalam pidatonya pernah menyatakan bahwa musuh terbesar adalah rakyat sendiri yang mabuk agama dan budaya asing. Ia mengatakan, “Jika kalian menjadi Muslim, jangan jadi orang Arab. Jika menjadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Jika menjadi Hindu atau Buddha, jangan jadi orang India. Tetaplah menjadi orang Indonesia dengan adat istiadat dan kepercayaan sesuai nilai-nilai luhur bangsa ini.”
Fenomena akhir-akhir ini di dunia maya dan media sosial menunjukkan adanya doktrinisasi dari golongan tertentu yang merendahkan golongan lain atau agama lain dengan klaim kebenaran tunggal. Doktrinisasi ini sering dikaitkan dengan konsep surga, neraka, dan kafir, tanpa memahami sejarah bangsa ini yang penuh keberagaman. Indonesia dibentuk bukan sebagai negara agama, tetapi sebagai negara kesatuan yang melindungi seluruh umat beragama.
Ketika agama dijadikan komoditas bisnis dan politik, pemuka agama sering kali mengajarkan bahwa kehidupan surga lebih mulia daripada dunia. Akibatnya, umat kehilangan kesempatan untuk maju, terperangkap dalam pemikiran sempit yang hanya mengejar surga. Namun, dunia ini adalah tempat pengabdian terhadap sesama dan alam semesta. Beragama tanpa rasa kemanusiaan hanya akan menimbulkan pemahaman bahwa diri sendiri paling benar, sedangkan orang lain salah dan kafir. Inilah akar dari malapetaka, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berbangsa dan bernegara.
Jalaludin Rumi dalam bukunya Fihi Ma Fihi menulis bahwa agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat. Di dunia, setiap orang memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda-beda, sehingga penyatuan agama tidak mungkin terjadi. Hanya di hari kiamat, Allah akan menjadi hakimnya, dan manusia akan bersatu dalam pandangan yang sama.
Panitia Sembilan, yang dikenal dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dalam sidangnya pada 22 Juni 1945 melahirkan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan ini mencantumkan salah satu sila dasar negara: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Namun, usulan ini ditolak oleh perwakilan Indonesia Timur, yang diwakili Johanes Latuharhary. Setelah perdebatan, rumusan ini diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, sebuah prinsip inklusif yang mencerminkan keberagaman bangsa Indonesia.
Makna filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa sangat luas. Prinsip ini menunjukkan bahwa Tuhan itu satu, tetapi memberikan banyak jalan untuk mengenal-Nya. Seluruh alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan yang Esa, mencerminkan keberagaman etnis, suku, dan agama. Jalaludin Rumi menyebutnya dengan ungkapan “Ana Al-Haqq” (Akulah Kebenaran).
Esensi beragama sejati adalah tenggelamnya jiwa dalam pengabdian kepada Tuhan dan sesama, bukan hanya menjalankan ritual fisik. Rumi menggambarkan esensi ini sebagai “ruh shalat,” hubungan langsung antara makhluk dengan Tuhan tanpa batas-batas lahiriah.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, banyak yang hanya memahami sebagian kecil dari agama tetapi merasa telah menguasai segalanya. Mereka tidak menyadari bahwa semua agama, seperti sungai, pada akhirnya bermuara ke samudra yang sama: keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendiri bangsa telah menegaskan bahwa Indonesia adalah nation-state yang mengakui keberadaan semua agama melalui sila pertama Pancasila.
Filosofi ilmu padi mengajarkan bahwa semakin berisi seseorang, semakin ia merunduk. Begitu pula manusia yang memahami hakikat kehidupan akan mengabdikan diri kepada sesama dan alam semesta, mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan Yang Esa.
Oleh. : Agus WidjajantoAgus Widjajanto
Praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya, politik dan hukum tinggal di Jakarta
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano















