Jakarta, Aktual.co — Untuk mudahnya, kita definisikan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku bersama yang dibentuk oleh sistem makna dan simbol yang menentukan cara manusia mendefinisikan dunianya (worldview). Budaya sebagai medium pembentuk makna (meaning-making medium), dalam perjuangannya untuk menyatakan diri (struggle for the real)  tidaklah terpisah melainkan berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya (ekonomi, politik), yang dengan sendirinya menjadi bagian dari perjuangan kuasa.

Dengan demikian, diskursus tentang “rahim budaya pemimpin pergerakan” mencoba membedah  “kantong-kantong” jaringan simbolik dan sistem signifikasi yang membentuk kerangka mental bagi kelahiran dan pembentukan karakter pemimpin pergerakan. Sebuah proses pembentukan kerangka mental yang penuh kontestasi dan relasi kuasa.
Setidaknya ada tiga simpul utama rahim budaya yang menjadi basis pembentukan pemimpin pergerakan. Pendidikan, praktik diskursif (discursive pratices), dan ruang publik (public sphere).

Pendidikan
Pendidikan dianggap penting bukan saja sebagai sumber legitimasi kultural bagi peran sosial seseorang, tetapi juga sebagai arena pergulatan kuasa. Pendidikan tidak hanya menjadi skemata bagi pembedaan kelas, namun juga menyediakan suatu prinsip fundamental bagi pemapanan suatu orde.

Seperti dinyatakan oleh Pierre Bourdieu, kelas yang dominan tidak menjalankan dominasi secara terang-terangan: dengan kata lain, kelas yang dominan tidak (serta-merta) menggunakan paksaan terhadap yang didominasi agar mereka bersedia memenuhi kehendaknya. Alih-alih, pengaruh dari kelas yang dominan dilembagakan dalam modal kultural dan ekonomi, yang dijalankan di seluruh lembaga-lembaga dan praktik-praktik kemasyarakatan dan terutama direproduksi oleh lembaga-lembaga dan praktik-praktik pendidikan (Bourdieu 1988: 87).

Dalam konteks inilah, pendidikan memainkan peranan yang penting dalam membangun habitus, yaitu skemata pengalaman dan persepsi yang bersifat kolektif (Bourdieu 1996: 101). Di sisi lain, Antonio Gramsci berargumen bahwa pertempuran demi melawan hegemoni niscaya membutuhkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang memungkinkan kelas yang didominasi bisa mendapatkan akses kepada pendidikan formal (Gramsci 1971: 29-43). Sebagai tambahan terhadap Bourdieu dan Gramsci, harus dikatakan bahwa hatta dalam sebuah sistem pendidikan tertentu sekalipun, bisa saja terjadi pergulatan kuasa yang saling berkompetisi. Ini terutama berlaku dalam konteks sistem pendidikan publik, terutama yang ada di negara-negara merdeka, karena secara teoretis sistem itu terbuka bagi orang-orang dari latar sosiografis yang berbeda-beda.

Karena pendidikan merupakan arena dari pergulatan kuasa, maka pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kuasa. Munculnya ilmu-ilmu humaniora, seperti yang dijelaskan dengan bagus oleh Foucault dalam bukunya, Discipline and Punish: The Birth of the Prisons  (1979a), telah menjadi instrumen sekaligus efek dari semakin meningkatnya intervensi-intervensi kuasa dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks Indonesia, awal introduski sistem pendidikan modern serta pengadopsian pengetahuan Barat bisa dilihat sebagai sebuah bagian dari dominasi kolonial, dan telah menciptakan sebuah hirarki sosial berdasarkan pada hirarki pendidikan dan pengetahuan yang bersifat kolonial. Hal ini memaksa kelompok-kelompok yang tersubordinasi untuk membentuk sebuah sistem sekolah alternatif dalam upayanya untuk merevitalisasi ‘pengetahuan-pengetahuan yang tersisihkan’ (subaltern knowledges).

Dengan adanya lebih dari satu sistem pendidikan yang diperkenalkan rezim kolonial di Hindia Belanda (Indonesia), pendidikan bisa dianggap baik sebagai sesuatu yang bisa menyatukan orang-orang dalam kelompok maupun sesuatu yang bisa memecah-belah orang ke dalam berbagai kelompok.

Praktik-praktik Diskursif
Praktik-praktik diskursif (discursive practices) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang penting sebagai sebuah medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahan sosial dan konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik di dalam maupun atas wacana. ‘Wacana (discourse) mentransmisikan dan memproduksi kuasa; wacana mengokohkan kuasa, namun juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa’ (Foucault 1976: 101).

Maka, merubah praktik-praktik diskursif merupakan sebuah elemen penting dalam perubahan sosial. Wacana paling tidak memiliki tiga efek konstruktif. Yaitu, memberikan kontribusi bagi pembentukan ‘identitas-identitas’ sosial, bagi pembentukan ‘relasi’ sosial’ (yaitu relasi di antara orang-orang) dan bagi pembentukan ‘ideasional’ atau sistem-sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial (Fairclough 1999: 55-56, 64-65, 78-79).

Dalam kaitan ini, kita akan melihat bagaimana pertarungan-pertarungan dari berbagai kelompok inteligensia yang berlangsung dalam dan melalui praktik-praktik diskursif dan  untuk mengamati pengaruh dari sebuah wacana dominan pada suatu kisaran historis tertentu terhadap pembentukan identitas-identitas, relasi-relasi, dan ideologi-ideologi sosial dari generasi pemimpin pergerakan. Analisis wacana (discourse analysis) dalam studi ini akan juga berusaha untuk mengidentifikasi pengaruh dari buku-buku, jurnal-jurnal, koran-koran dan terbitan-terbitan lainnya terhadap reproduksi dan reformulasi identitas-identitas, ideologi-ideologi dan tradisi-tradisi politik pemimpin pergerakan.

Ruang Publik
Ruang publik (public sphere) dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana-wacana diekspresikan dan merupakan ruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Istilah ruang publik di sini merujuk pada domain kehidupan sosial tempat opini publik terbentuk.

Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukan tradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakan bagian dari kemunculan apa yang disebutnya sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) sekitar abad ke-17 dan ke-18. Ruang publik ini berpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra dari keluarga borjuis yang berorientasi pemirsa dan berlangsung di lembaga-lembaga sosial yang baru muncul dalam ranah publik: seperti klub-klub, majalah-majalah, jurnal-jurnal, kedai-kedai kopi, salon-salon dan ruang-ruang kafe lantai atas (cenacles). Ruang publik ini merupakan sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, di mana individu-individu perseorangan berbaur ‘demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh’ (Eagleton 1997: 9).

Bentuk sosiabilitas baru ini, beserta dengan wacana rasional dan kritis yang tumbuh dalam lembaga-lembaga sosial yang ada dalam ruang publik, bergantung pada kumunculan kekuasaan negara-negara nasional dan teritorial yang tumbuh di atas basis perekonomian kapitalis merkantil awal. Proses ini kemudian melahirkan ide mengenai masyarakat yang terpisah dari penguasa (atau negara) dan mengenai ruang privat yang terpisah dari ruang publik (Habermas 1989: 23-6; Calhoun, 1992: 7).

Pada mulanya, ruang publik borjuis itu terdiri dari lapisan kecil masyarakat Eropa, terutama terdiri dari orang-orang terdidik dan hartawan, dimana para bangsawan (aristokrat) memainkan peran-peran utama. Mereka mengembangkan wacana secara eksklusif dengan penuh prasangka terhadap kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang lain. Habermas menyebut ruang publik ini sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) bukan hanya semata-mata atas dasar komposisi kelas dari para anggotanya. Alih-alih, dia menyatakan bahwa munculnya sebuah masyarakat borjuis yang baru di sekitar abad ke-17 di Eropa melahirkan sebentuk ruang publiknya yang khas. Dalam perkembangan lebih jauh, ruang publik borjouis ini mengalami perluasan yang terus-menerus sehingga mencakup lebih banyak dan lebih banyak lagi partisipan (dan juga berkembang organisasi-organisasi berskala besar sebagai mediator-mediator bagi partisipasi individu). Situasi ini menyebabkan degenerasi terhadap kualitas dari wacana publik (Habermas 1989: 22-23; Calhoun 1992: 3, 7).

 Dalam ruang publik yang ideal, dalam pandangan Habermas, terjamin adanya kesetaraan serta argumen yang kritis dan rasional. Para partisipan dalam wacana publik tidak terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa atau uang. Para warga negara bisa mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi dari negara. Pengaruh ini, untuk sebagian besar, bersifat informal. Pengaruh ini menjadi bersifat formal secara periodik hanya selama pemilihan umum. Namun, dalam masyarakat kontemporer, dia berpandangan bahwa ruang publik tak lagi berfungsi sebagai domain bagi debat rasional. Ruang publik liberal, meskipun mengandaikan adanya partisipasi dari semua orang, pada kenyataannya terbatas pada para hartawan. Pada abad kesembilanbelas, ruang publik itu meluas melampaui batas-batas semula sehingga mencakup pula orang-orang dari kelas buruh. Dengan tumbuhnya negara kesejahteraan (the welfare state), secara khusus, perubahan-perubahan ini akan memiliki arti bahwa ruang publik tak lagi menjadi lokasi diskusi di antara individu-individu perseorangan. Ruang publik telah menjadi daerah konflik kepentingan di antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi (Habermas 2000: 289-294; Nash 2000: 283-284).

Kelahiran ‘ruang publik Indonesia’ (Hindia Belanda) modern pada awal abad ke-20 menunjukkan beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan dengan yang terjadi di Eropa. Sama halnya dengan ruang publik Eropa awal, ruang publik ‘Indonesia’ awal terdiri dari lapisan kecil penduduk Hindia Belanda, dan terutama terdiri dari orang-orang yang terdidik (dari keluarga-keluarga bangsawan dan borjuis kecil) dan para bangsawan, dimana pengaruh yang kuat dipegang oleh bangsawan lama. Generasi awal orang-orang Hindia Belanda yang berpendidikan modern juga berwacana secara eksklusif dengan penuh prasangka terhadap kepentingan-kepentingan, ide-ide, dan nilai-nilai dari kelompok-kelompok konservatif. Namun, sementara kemunculan ruang publik dalam konteks Eropa merupakan bagian organik dari kemunculan kelas borjuis (yang ber-uang), dalam konteks Hindia Belanda, kemunculan itu merupakan bagian dari kemunculan strata baru inteligensia. Jadi, lebih tepat untuk menyebut ruang publik ‘Indonesia’ (modern) yang awal sebagai ‘ruang publik inteligensia’ ketimbang sebagai ‘ruang publik borjuis’.

Lebih dari itu, sementara ruang publik awal dalam konteks Eropa terpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra, ruang publik awal dalam konteks ‘Indonesia’ terpusat di seputar wacana mengenai isu kemadjoean, yaitu bagaimana bisa mengejar kemajuan dari peradaban-peradaban lain, terutama peradaban Barat. Yang terakhir namun juga penting, derajat kebebasan dari ruang publik ‘Indonesia’ yang awal jauh berbeda dari hal yang sama dari ruang publik Eropa. Hal ini terjadi karena ruang publik Indonesia awal beroperasi di bawah dominasi kolonial. (Bersambung)

Oleh: Yudi Latif,  Chairman Aktual