Apalagi memang, katanya, pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar. Dari jumlah itu, sebagian besar di darat yakni 60 persen dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Sedang untuk kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar.
Selanjutnya ada juga hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk izin perkebunan sawit seluas 13 juta hektar, izin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.
“Bahkan sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar. Selain itu ada juga puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas,” ungkapnya.
Dengan kondisi itu, kata dia, mencerminkan begitu tak adilnya kepemilikan dan penguasaan tanah yang kemudian justru seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah.
Apalagi di saat bersamaan, lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian, justru cuma menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing-masing 0,5 hektar.
“Sehingga, setiap petani hanya menguasai lahan rata-rata 0,17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut,” keluh Daeng.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka