Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan)
Jakarta, aktual.com – Ada satu perasaan yang makin sering muncul di tengah masyarakat Indonesia hari ini: rakyat merasa sendirian di negaranya sendiri. Ketika berhadapan dengan kekuasaan, aparat, atau kebijakan negara, rakyat kerap tidak tahu harus berlindung ke mana. Perasaan ini bukan sekadar psikologis atau emosional. Ia lahir dari struktur ketatanegaraan yang memang tidak lagi menyediakan pelindung yang jelas bagi rakyat.
Untuk memahami masalah ini, kita perlu kembali ke logika paling dasar tentang negara—bukan melalui bahasa hukum yang rumit, tetapi lewat analogi kehidupan sehari-hari: rumah tangga dan keluarga.
Negara sebagai Rumah, Rakyat sebagai Pemilik
Dalam kehidupan nyata, sebuah rumah tangga inti terdiri dari suami dan istri. Sementara keluarga inti terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Agar kehidupan berjalan tertib, harus jelas siapa pemilik rumah, siapa kepala rumah tangga, siapa kepala keluarga, siapa yang membantu pekerjaan harian, apa aturan hidupnya, dan siapa yang menjaga rumah tersebut.
Jika struktur ini kabur, konflik bukan sekadar mungkin—tetapi pasti.
Dengan analogi itu, negara dapat dibaca sebagai berikut:
• Rakyat adalah istri: pemilik rumah, sumber kehidupan, dan kepala rumah tangga.
• MPR adalah suami: kepala negara, mandataris rakyat, pelindung keluarga.
• Pancasila adalah anak-anak: nilai yang harus dijaga dan ditumbuhkan.
• Presiden adalah asisten rumah tangga: kepala pemerintahan yang dipekerjakan untuk mengurus urusan sehari-hari.
• UUD NRI 1945 adalah aturan hidup keluarga.
• Wilayah NKRI adalah rumah tempat keluarga itu hidup.
• TNI dan Polri adalah satpam rumah: penjaga keamanan, bukan pemilik rumah.
Dalam susunan yang sehat, negara terdiri dari wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Pemerintahan hanyalah alat, bukan inti. Ia membantu, bukan menentukan kepemilikan.
Pemerintah Itu Outsourcing, Negara Tetap Ada
Asisten rumah tangga adalah pihak luar. Ia penting, tetapi keberadaannya tidak menentukan ada atau tidaknya rumah dan keluarga. Negara dapat tetap ada meskipun pemerintahan sementara tidak berjalan. Contoh paling nyata adalah Belgia, yang pernah lebih dari 500 hari tanpa pemerintahan definitif, tetapi negaranya tetap berdiri.
Fakta ini menunjukkan satu hal penting:
negara tidak identik dengan pemerintah.
Namun di Indonesia hari ini, justru sebaliknya yang terjadi. Pemerintah diperlakukan seolah-olah ia adalah negara itu sendiri. Presiden menjadi figur paling dominan, sementara rakyat kehilangan jalur perlindungan struktural.
Perceraian Konstitusional yang Mengubah Segalanya
Masalah ini tidak muncul tiba-tiba. Akar utamanya dapat ditelusuri pada Amandemen Ketiga UUD NRI 1945 tahun 2001, khususnya perubahan Pasal 1 ayat (2).
Sebelum amandemen, konstitusi berbunyi:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Setelah amandemen, bunyinya berubah menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Perubahan ini tampak halus, tetapi dampaknya sangat besar. Rakyat masih disebut sebagai pemilik kedaulatan, namun kehilangan alat untuk menguasai dan menjalankannya melalui mandatarisnya, yaitu MPR.
Dalam analogi keluarga, inilah momen perceraian konstitusional:
suami (MPR) melepaskan tanggung jawab melindungi istri (rakyat),
dan urusan rumah diserahkan kepada asisten rumah tangga (presiden).
Sejak saat itu, rakyat tidak lagi memiliki pelindung struktural yang jelas. Seperti yang pernah dikatakan Cak Nun, rakyat akhirnya tidak dilindungi oleh siapa pun.
Kaburnya Negara dan Pemerintah
Akibat perceraian konstitusional tersebut, batas antara negara dan pemerintah menjadi kabur. Presiden tidak lagi dipahami sebagai kepala pemerintahan, melainkan diperlakukan seperti pemilik negara. Lembaga negara dan lembaga pemerintah bercampur, seolah-olah semuanya berada di bawah satu pusat kekuasaan.
Dalam kondisi ini, TNI dan Polri pun ikut salah mengenali majikannya. Mereka kerap mengira bahwa yang harus dilindungi adalah pemerintah atau kekuasaan, bukan rakyat sebagai pemilik rumah.
Padahal dalam logika rumah tangga:
satpam bekerja untuk pemilik rumah,
bukan untuk asisten rumah tangga.
Ketika penjaga rumah salah mengenali siapa majikannya, maka potensi kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakadilan akan selalu muncul.
Rakyat Menjadi Tamu di Rumahnya Sendiri
Hari ini, rakyat sering kali berhadapan dengan negara tanpa pelindung. Ketika berkonflik dengan kebijakan, aparat, atau kekuasaan, rakyat tidak tahu harus berlindung ke mana. DPR lemah, MPR tidak lagi berfungsi sebagai kepala negara, dan presiden berdiri terlalu tinggi di atas struktur.
Inilah sebabnya mengapa rakyat merasa tidak dilindungi siapa pun—bukan karena negara kejam secara personal, tetapi karena struktur ketatanegaraan memang tidak dirancang untuk melindungi rakyat.
Meluruskan Struktur, Bukan Sekadar Mengganti Orang
Masalah Indonesia hari ini bukan semata soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana negara ditata. Selama struktur ketatanegaraan masih kabur, konflik antara rakyat dan kekuasaan akan terus berulang.
Negara yang sehat harus kembali pada logika dasarnya:
• rakyat adalah pemilik rumah,
• negara adalah alat,
• pemerintah adalah pelayan,
• dan aparat adalah penjaga rakyat, bukan penjaga kekuasaan.
Selama logika ini belum dipulihkan, rakyat akan terus hidup di rumahnya sendiri tanpa pelindung. Dan selama itu pula, Indonesia belum sepenuhnya menjadi republik yang sejati—republik yang melindungi rakyatnya, bukan meninggalkannya sendirian di hadapan kekuasaan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















