Jakarta, aktual.com – Umat Islam di Tanah Air telah beberapa hari ini menjalani ibadah puasa Ramadhan 1443 Hijriah. Ramadhan kali ini memang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Tahun ini Umat Islam bisa kembali berkumpul menegakkan shalat Tarawih berjamaah, berkumpul dengan tetangga dekat, tetangga jauh, bahkan dengan musafir yang kebetulan lewat dan singgah di masjid mereka.

Selama dua tahun ini, hal itu tak mungkin dilakukan karena pandemi telah “memisahkan” semua. Kala itu, Umat Islam “diwajibkan” shalat berjamaah di rumah.

Kepala keluarga menjadi imam bagi makmum yang merupakan anggota keluarganya. Bagi yang sudah siap, hal itu merupakan perkara mudah.

Stok hafalan Al Quran mencukupi untuk menunaikan shalat Tarawih yang 11 rakaat. Meski tak cukup, membaca surah yang sama berulangkali juga tidak mengapa. Agama tidak melarangnya, meski tetap lebih afdhol (lebih utama) membaca surah yang berbeda.

Kondisi ini memunculkan meme menggelitik di media sosial yang menggambarkan imam membaca surah yang sama di saat Tarawih.

Apa pun, hikmah yang bisa diambil, setiap kepala keluarga yang juga imam (pemimpin) saat shalat harus siap, minimal hafal Juz 30, atau minimal Surah 101 (Al Qari’ah) hingga Surah 114 (An Nas).

Tetapi tahun ini, para kepala keluarga bisa bernafas lega, karena shalat Tarawih berjamaah sudah bisa diselenggarakan di masjid-masjid.

Dampak tertahan dua tahun, tahun ini gairah shalat berjamaah semakin meningkat. Ghirah (semangat) beragama terlihat membuncah.

Di awal-awal Ramadhan, masjid terlihat penuh. Di sebagian daerah, jamaah hingga ke halaman, bahkan hingga ke jalan.

Sedekah berbuka

Suka cita bisa shalat Tarawih berjamaah menjalar di seluruh Nusantara, dari Sabang hingga Papua. Umat Islam di berbagai kampung, desa, dan kota, tampak memadati masjid dan mushala untuk melaksanakan shalat Tarawih berjamaah sebelum menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan 1443 Hijriah, Sabtu malam (2/4).

Sehari sebelumnya, sebagian Umat Islam sudah melaksanakan Shalat Tarawih lebih dahulu. Mereka berpegang pada hasil hisab Muhammadiyah yang menyatakan awal Ramadhan jatuh pada Jumat malam (1/4) dan keesokan harinya sudah puasa.

Perbedaan awal puasa lazim terjadi di Indonesia. Hal itu terjadi sejak dulu karena metode rukyat (melihat hilal bulan baru) bisa menghasilkan hal yang berbeda jika menghitung (hisab) bulan baru dengan menggunakan Ilmu Falak (astronomi).

Ilmu Falak memungkinkan menghitung bulan baru dengan derajat lebih kecil dari 1 derajat. Bahkan awal Ramadhan pada 10 tahun ke depan sudah bisa ditentukan (dihitung) atau diperkirakan saat ini.

Namun, perbedaan ini sudah dianggap biasa bagi Umat Islam. Jika dipikirkan lebih mendalam, Indonesia dengan tiga waktu yang berbeda (Waktu Indonesia Timur, Tengah dan Barat), memungkinkan untuk berpuasa di hari yang berbeda. Namun, semangat kesatuan dan kebersamaan, menjadikan awal Ramadhan, berlaku sama di semua wilayah.

Berkah Ramadhan selalu dimanfaatkan maksimal oleh Umat Islam. Sedekah, sebagaimana amal ibadah lainnya, seperti membaca dan tadabur Al Quran, shalat malam, juga diperbanyak oleh Muslimin, di antaranya menyediakan buka puasa di masjid.

Memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa sama pahalanya dengan pahala orang berpuasa. Artinya, jika seseorang berpuasa lalu menyediakan makanan berbuka bagi orang lain, maka pahalanya berlipat ganda, yakni pahala karena dia berpuasa dan pahala yang sama karena menyediakan makanan berbuka bagi orang lain yang berpuasa.

Kisah Umar

Fenomena lain di Bulan Ramadhan adalah Safari Ramadhan. Makna sederhananya, seorang pejabat (gubernur, wali kota atau bupati) mendatangi warganya dengan shalat Tarawih atau shalat Subuh berjamaah.

Safari ini acap muncul menjelang pemilihan umum, baik di tingkat kepala daerah dan DPRD, maupun tingkat pusat (pemilihan presiden atau anggota DPR).

Di luar itu, kala Ramadhan, misalnya, kepala daerah shalat berjamaah bersama warganya lalu dipersilakan naik mimbar untuk menyampaikan sesuatu. Tujuannya sama, mendengarkan aspirasi atau menyampaikan kinerja yang sudah dilakukan.

Fenomena ini baik-baik saja. Terlebih jika pemimpin (umara) mendatangi warganya, mendengar keluh kesahnya, menjawab keinginan dan kebutuhan mereka, serta mewujudkan mimpi-mimpi mereka.

Memang sudah seharusnya pemimpin dekat dengan warga, karena pada sistem demokrasi, di mana pemimpin dipilih oleh warga, sudah seharusnya mendengar masukan dari warganya. Bukan sebaliknya, warga hanya dibutuhkan saat pemilihan, setelah itu dilupakan.

Dalam sejarah Islam, kisah Khalifah Umar bin Khattab selalu menjadi teladan bagi pemimpin Muslim dan ceritanya acap di sampaikan dalam berbagai kesempatan, bagaimana seorang pemimpin harus bersikap jika warganya kekurangan pangan, misalnya.

Pada suatu malam Umar dan pembantunya Aslam berkeliling dan melihat tenda dan api unggun, seorang wanita sedang memasak, sementara anak-anaknya menangis.

Umar bertanya mengapa anak-anaknya menangis, dan apa yang dimasak. Sang wanita berkata, “Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan Allah Azza wa Jalla kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar Radhiyallahu anhu.

Umar menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum Baitul Mal. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata, ”Wahai Aslam, naikkan karung ini ke atas pundakku.”

Aslam berkata, ”Biar aku saja yang membawanya.” Umar menjawab, ”Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari Kiamat?”

Maka ia segera memikul karung tersebut di atas pundaknya dan kembali mendatangi tempat wanita itu, meniup api, memasak gandum dan daging dan membagikan kepada anak-anak yang menangis tadi. (dikutip dari almanhaj.or.id)

Demikian seorang pemimpin seharusnya bersikap dalam mengayomi warganya, karena kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya sebagaimana Hadits Bukhari dan Muslim,

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.”

Para pejabat yang mengadakan Safari Ramadhan agaknya memahami tanggung jawab ini, dan di Bulan Suci ini mereka mendatangi warganya untuk melihat dari dekat, apakah mereka hidup tenang dan cukup atau tidur bergelung memeluk perut karena lapar.*

(Rey)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Rizky Zulkarnain