Jakarta, Aktual.com – Sejalan dengan sulitnya memprediksi penularan virus Sars-Cov-2 yang menyebabkan penyakit infeksi COVID-19, ramalan ekonomi dunia melahirkan satu kepastian tentang ancaman resesi di tengah banyak ketidakpastian.
Beberapa lembaga ekonomi dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sudah beberapa kali mengubah prediksinya dalam tempo yang singkat, menyesuaikan ke mana arah badai dari tekanan ekonomi pada masa pandemi ini.
Terakhir OECD meramalkan ekonomi global bisa terkontraksi hingga minus 7,6 persen pada 2020, sementara Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global minus 5,2 persen, dan IMF di minus 4,9 persen.
Kontraksi ekonomi global yang dalam, diperkirakan turut membuat ekonomi Indonesia terpukul. Dalam laporan terbaru Bank Dunia berjudul “Prospek Perekonomian Indonesia: Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi”, ekonomi Indonesia pada keseluruhan tahun 2020 diperkirakan stagnan di nol persen atau tidak mengalami pertumbuhan.
IMF dalam laporannya edisi Juni 2020 menyebut krisis ekonomi global kali ini dengan A Crisis Like No Other, atau krisis yang lain daripada yang lain.
Bagi Indonesia, kegiatan ekonomi periode kuartal II 2020 diperkirakan menjadi periode terberat. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak awal kuartal II (awal April 2020), yang memang harus diterapkan untuk mencegah penularan COVID-19, telah memperlemah kegiatan produksi dan permintaan barang.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) muncul di berbagai lapangan usaha. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angka kemiskinan telah bertambah tahun ini. Per Maret 2020, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia, naik 1,63 juta orang dibandingkan September 2019.
Pemerintah bersikap terbuka dengan kondisi ekonomi saat ini dan berani berbicara pahit tentang apa yang akan dihadapi. Alih-alih tumbuh, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 kemungkinan menyusut ke minus 4,3 persen
Bukan tidak mungkin penurunan data makroekonomi bisa terus berlanjut, jika pandemi tidak terkendali, atau malah menunjukkan terjadinya gelombang kedua penularan.
Jika di kuartal II 2020, ramalan pemerintah bahwa ekonomi akan terkontraksi ke level negatif terbukti dan kontraksi berlanjut di kuartal III 2020, maka Indonesia akan masuk ke periode resesi.
Untuk mengantisipasi ancaman resesi, pemerintah telah mengerahkan semua perangkat kebijakan. Kebijakan fiskal, riil, dan moneter, harus sepadan dan saling mencukupi. Perlu dicatat pula, ketika menghadapi pandemi yang telah menewaskan 593 ribu orang di dunia, pemerintah tak bisa hanya bertumpu pada kebijakan ekonomi namun harus memperhatikan aspek kesehatan masyarakat.
Sulit Harapkan Investasi
Di tengah situasi terjepit seperti ini, belanja fiskal harus menjadi tumpuan untuk menggerakkan permintaan. Investasi ataupun belanja swasta sulit diharapkan mendorong perekonomian karena minimnya faktor permintaan.
Oleh karena itu Presiden Jokowi secara terbuka mengakui investasi dan kredit perbankan sudah tak bisa lagi diharapkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Saat ini belanja pemerintah merupakan satu-satunya tumpuan untuk mendorong perekonomian.
Presiden Jokowi juga berulang kali mengingatkan jajarannya dan juga para kepala daerah untuk bekerja luar biasa, karena saat ini Tanah Air tengah menghadapi krisis ekonomi dan kesehatan.
Bisa jadi Presiden Jokowi memang sengaja menyinggung betapa gentingnya situasi pandemi saat ini untuk membuat sadar seluruh aparat negara mengenai turbulensi yang tengah mengguncang Indonesia.
Kepada para gubernur pada Rabu (15/7), Presiden Jokowi mewanti-wanti agar belanja pemerintah di APBD segera direalisasikan. Jokowi tidak ingin dana APBD mengendap terlalu lama di perbankan. Lebih baik dana tersebut digulirkan melalui program produktif, padat karya, ataupun bantuan sosial agar dapat memacu uang beredar di masyarakat.
Berdasarkan laporan yang diterima Presiden Jokowi, terdapat dana APBD sebesar Rp170 triliun yang masih menumpuk di kas perbankan. Realisasi penggunaan dana ini bisa dipantau setiap harinya dari level provinsi hingga kabupaten.
Berdasarkan realisasi APBD dari 34 provinsi di Indonesia, Jakarta merupakan yang tertinggi se-Indonesia, yakni mencapai 45 persen. Sedangkan terendah yakni Sumatera Selatan sekitar 16 persen.
Presiden Jokowi meminta belanja modal menjadi prioritas untuk dicairkan pada saat ini. Sebab, sejauh ini belanja modal di beberapa wilayah seperti, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Klimantan Barat, dan Aceh, masih rendah. Untuk bisa mendorong belanja modal, Presiden Jokowi meminta agar proses birokrasi di daerah bisa lebih disederhanakan.
Kecepatan pencairan anggaran diperlukan agar momentum pemulihan ekonomi dapat dimanfaatkan dengan baik. Momentum itu datang seiring pembukaan kembali aktivitas ekonomi pada akhir kuartal II.
Penting bagi Indonesia untuk mencuri start pemulihan ekonomi agar pelonggaran PSBB yang sudah dilakukan dengan promosi adaptasi kebiasaan baru, tidak menjadi sia-sia.
“Momentumnya adalah di bulan Juli, Agustus, dan September, kuartal ketiga. Momentumnya ada di situ. Kalau kita tidak bisa mengungkit di kuartal ketiga, jangan berharap kuartal keempat akan bisa. Harapan kita hanya ada di kuartal ketiga, Juli, Agustus, dan September,” kata Presiden Jokowi.
Dalam instrumen fiskal APBN 2020, pemerintah juga telah menyiapkan dana sebesar Rp695,2 triliun untuk menangani pandemi Virus Corona baru dan dampak yang menyertainya, sebagaimana yang tertuang dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Meski demikian, kebijakan memacu ekonomi jangan sampai mengabaikan protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19.
Presiden Jokowi meminta kepala daerah mengatur keseimbangan antara rem dan gas dalam membuka kegiatan ekonomi. Jika pembukaan kegiatan ekonomi bisa menimbulkan penularan COVID-19, maka kepala daerah harus segera menginjak rem untuk kembali menutup kegiatan ekonomi tersebut.
Keseimbangan
Hingga Juni 2020 parameter kegiatan ekonomi masih menunjukkan kelesuan. Indeks keyakinan konsumen (IKK) masih 83,8 pada atau masih di bawah batas optimistis yakni 100 per Juni 2020. Meski demikian IKK di Juni itu sudah meningkat dari posisi Mei 2020 yang sebesar 77,8.
Kinerja sektor Industri Pengolahan pada kuartal II 2020 juga berada dalam fase kontraksi yang lebih dalam. Hal tersebut tercermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia yang sebesar 28,55 persen, turun dari 45,64 persen pada triwulan I-2020 dan 52,66 persen pada triwulan II-2019.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya pada Juli 2020 ini, menyebutkan reformasi ekonomi dan investasi di sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur akan mendukung pemulihan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
Country Director World Bank Indonesia Satu Kahkonen menjelaskan ada tiga prioritas reformasi yang perlu ditempuh pemerintah untuk menuju pemulihan ekonomi.
Pertama, menghilangkan hambatan bisnis untuk investasi lebih besar. Jika Indonesia memperbaiki kerangka regulasi dan tata laksana investasi, akan memberikan sinyal positif bagi investor dan dunia usaha.
Kedua, mereformasi BUMN untuk mendorong investasi, terutama untuk membangun infrastruktur secara masif .
Reformasi ketiga adalah kebijakan perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara. Menurut Kahkonen, tak ada satu pun negara berpendapatan tinggi yang memiliki rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) satu digit. Saat ini rasio pajak Indonesia terhadap PDB masih di bawah 10 persen. Peningkatan rasio pajak dibutuhkan karena pemulihan ekonomi berkelanjutan membutuhkan biaya tinggi.
Dari beberapa parameter dan rekomendasi itu, Indonesia memang perlu menerapkan banyak kebijakan terobosan untuk mengejar pemulihan ekonomi.
Namun berkaca dari berbagai pengalaman negara di dunia yang sudah terlebih dahulu melonggarkan pembatasan aktivitas, ekonomi hanya bisa berjalan jika kesehatan masyarakat terjaga.
Hal itu pula yang bisa melahirkan optimisme masyarakat, investor ,dan dunia usaha. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang menyeimbangkan kesehatan masyarakat dan memulihkan perekonomian, termasuk di tingkat daerah.
Tentu keseimbangan tidak dapat tercapai jika hanya ditopang dari kebijakan pemerintah. Turut diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan Virus Corona tipe baru dalam kegiatan sehari-hari.
Kepatuhan terhadap protokol kesehatan menjadi teramat penting. Tanpa itu, pembukaan kegiatan ekonomi akan menjadi percuma. Absennya kedisplinan masyarakat juga akan membuat dampak pandemi berkepanjangan dan ancaman resesi ekonomi kian nyata. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin