Jakarta, Aktual.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mulai meletakkan agenda restorasi Haluan Negara di tengah arena persidangan. Namun, setelah bola digulirkan di lapangan, para pemain dan penonton masih belum memiliki visi yang terang, ke mana bola akan diarahkan.
Terdapat kekaburan pandangan mengenai pengertian “Haluan Negara”. Orang-orang menafsirnya menurut kemauan masing-masing, tanpa usaha menggali “maksud semula” (original intent) istilah tersebut dalam pemahaman para pendiri bangsa. Sebelum amandemen Konstitusi, pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
Dengan demikian, pengertian tentang Haluan Negara itu harus bisa dibedakan dengan Konstitusi. Juga harus dibedakan dengan undang-undang, karena pembuatan undang-undang bukanlah domain kewenangan MPR, melainkan kewenangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Posisi GBHN
Dalam alam pemikiran pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai hukum/norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar.
Bila Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, Konstitusi mengandung prinsip-prinsip normatif, maka Haluan Negara mengandung prinsip-prinsip direktif. Nilai-nilai filosofis Pancasila bersifat abstrak. Pasal-pasal Konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya. Untuk itu, diperlukan suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi itu ke dalam berbagai pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana dan terpadu. Sebagai prinsip direktif, haluan negara itu juga harus menjadi pedoman dalam pembuatan perundang-undangan.
Memang ada beberapa negara yang memuat prinsip-prinsip direktif itu dalam konstitusinya. Misalnya, Konstitusi India dan Filipina saat ini, dengan mendapat inspirasi dari pasal-pasal tentang directive principles of social policies yang terdapat
pada Konstitusi Irlandia (1937). Konstitusi Irlandia tersebut sudah ada sebelum para pendiri bangsa menyusun rancangan UUD 1945. Hampir pasti, orang sekaliber Soepomo dan Muhammad Yamin dengan tingkat erudisi yang luas dan perhatian yang mendalam atas subjek konstitusi sudah mengetahuinya.
Bila UUD 1945 tidak memuat prinsip-prinsip direktif tersebut dalam pasal-pasal tersendiri, sudah barangtentu ada alasannya. Pertama, persoalan ketidakcukupan waktu sehingga Soepomo baru belakangan menyertakan naskah penjelasan UUD 1945, yang hingga taraf tentu mengandung nuansa prinsip-prinsip direktif. Kedua, cakupan GBHN jauh lebih luas dan lebih elaboratif daripada prinsip-prinsip direktif yang bisa diakomodasi dalam konstitusi. Ketiga, muatan GBHN harus lebih dinamis dalam merespon perkembangan zaman ketimbang konstitusi. Dalam keterangannya pada Rapat Besar BPUPK (15 Juli 1945), Soepomo menyatakan, “Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis Permusyawaratan Rakyat memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.”
Menurut Prof. Maria Farida Indrati S, dalam Ilmu Per-Undang-Undangan (Kanisius, 2007), fungsi MPR (sebelum amandemen) bisa dibedakan dalam dua kualitas: “Fungsi I: Menetapkan Undang-Undang Dasar; Fungsi II a: Menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara; II b: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.” Lantas ia jelaskan lebih lanjut, bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada dalam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam menjalankan fungsi yang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kualitas sebagai ‘konstituante’, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar yang hanya dilaksanakan apabila negara benar-benar menghendaki, jadi tidak secara teratur, sedangkan dalam menjalankan fungsi yang kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang.”
Singkat kata, haluan negara sebagai prinsip-prinsip direktif kebijakan dasar politik itu seyogianya terpisah dari konstitusi dan berada di atas undang-undang. Salah satu elemennya sebagai haluan ideologis bisa dikembangkan dari penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen.
Substansi GBHN
Setiap bangsa harus memiliki konsepsi dan konsensusnya tersendiri menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya” (Soekarno, 1989: 64).
Konsepsi tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan falsafah dan pandangan dunia, serta faktor-faktor historis-sosiologis dari bangsa yang bersangkutan. Maka dari itu, pilihan-pilihan model ketatanegaraan, juga hukum dan kebijakan dasar yang dianut oleh suatu bangsa tidak harus identik dengan model-model yang berlakudi negara lain. Dalam kaitan ini, keberadaan GBHN merupakan paket integral dari konsepsi negara kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konsepsi negara kekeluargaan yang menekankan konsensus, kebijakan politik dasar tidak diserahkan kepada Presiden sebagai ekspresi kekuatan majoritarian, melainkan harus dirumuskan bersama melalui majelis terlengkap yang mewakili seluruh elemen kekuatan rakyat. Dalam amanatnya pada Sidang Pleno Pertama Dewan Perancang Nasional, Presiden Soekarno menyatakan, “Maka oleh karena itulah saya berpendapat bahwa pola itu sedianya dibawa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat oleh karenanya MPR itu adalah Majelis kita yang terlengkap….Jikalau pola ini nanti sudah diterima oleh MPR, artinya jikalau pola itu sudah menjadi satu milik nasional….maka pola itu harus diselenggarakan oleh segenap rakyat Indonesia…tidak boleh satu orang pun merobahnya.”
Dengan menyelami maksud asal dan praktik kenegaraan yang dijalankan para pendiri bangsa, kita bisa menyimpulkan bahwa Haluan Negara itu mengandung dua tuntunan: haluan yang bersifat ideologis dan haluan yang bersifat strategis-teknokratis. Haluan ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal Konstitusi ke dalam berbagai perundang-undangan dan kebijakan pembangunan di segala bidang dan lapisan. Haluan strategis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).
Sebagai contoh, pada Masa Orde Lama, haluan yang bersifat ideologis itu bernama “Manipol Usdek”; sedangkan haluan yang bersifat strategis itu bernama “Pola Pembangunan Semesta Berencana”. Pada masa Orde Baru, haluan ideologis itu bernama kaidah penuntun; sedangkan haluan strategis itu bernama Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang diturunkan ke dalam Rencana PembangunanLima Tahun (Repelita).
Hanya saja, haluan idelogis dalam GBHN Orde Lama itu masih merupakan suatu “narasi besar” (master-narrative) yang bersifat abstrak, belum merupakan suatu “ideologi kerja” (working ideology) yang memberikan arahan praksis. Sedangkan dalam GBHN Orde Baru, haluan ideologis itu masih merupakan kaidah penuntun yang sangat pendek dan normatif sebagai pengantar perencanaan pembangunan.
Restorasi GBHN
Meluasnya sokongan publik terhadap usaha menghidupkan kembali Haluan Negara semacam GBHN mengindikasikan urgensi Haluan Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai kebijakan politik dasar yang berisi prinsip-prinsip direktif, kedudukan Haluan Negara ini seyogianya berada di bawah konstitusi dan di atas undang-undang karena prinsip-prinsip direktif ini memberikan pedoman bagi perumusan undang-undang. Seturut dengan itu, kewenangan MPR untuk menetapkan “garis-garis besar daripada haluan negara” harus dipulihkan melalui perubahan Konstitusi.
Dengan menghidupkan kembali Haluan Negara, tidaklah berarti bahwa format danisi Haluan Negara harus sama dan sebangun dengan GBHN versi terdahulu. Yang penting, secara substansial, Haluan Negara itu harus mengandung kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan-arahan dasar (directive principles) yang bersifat ideologis dan strategis.
Dalam rangka restorasi GBHN tersebut, kita bisa memadukan warisan-warisan positif dari berbagai rezim pemerintahan selama ini, baik Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi.
Penyusunan GBHN bisa dilakukan dengan memadukan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan deduktif diperlukan terutama dalam menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifat ideologis. Pendekatan induktif diperlukan untuk menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersitaf strategis-teknokratis, dengan jalan menampung aspirasi arus bawah melalui mekanisme Musrembang seperti yang dikembangkan di Era Reformasi ini.
Dengan cara seperti itu, rencana pembangunan bisa selaras dengan nilai-nilai penuntun; saat yang sama memiliki relevansi yang kuat dengan kebutuhan konkrit masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Kapasitas Menyusun GBHN
Apapun yang ideal di atas kertas tidak akan terealisasi seperti yang dikehendaki bila kita tidak memiliki kapasitas untuk membuat rancangan dan pelaksanaan yang sesuai.
Masalah terbesar bangsa ini adalah defisit pengetahuan. Kelangkaan kepakaran yang sungguh-sungguh menguasai bidangnya seraya menyimpan keyakinan dan komimen Pancasila di hatinya. Tidak perlu disebutkan bagaimana mutu deliberatif dan argumentatif dari kebanyakan wakil rakyat di parlemen. Bahkan mereka yang kerap disebut pakar konstitusi pun sering tepergoki tidak sungguh-sungguh menguasai materi, sejarah dan perbandingan konstitusi.
Untuk mengatasi hal itu, MPR perlu membentuk semacam “Dewan Perancang”. Keanggotaannya bukan hanya mewakili unsur-unsur lembaga negara, melainkan
juga melibatkan pribadi-pribadi berkompeten dan berkomitmen Pancasila dariberbagai organisasi kemasyarakatan (termasuk masyarakat adat dan masyarakat media), dunia akademik dan dunia usaha.
Berbekal hasil kerja Dewan Perancang inilah, MPR bisa menyusun dan menetapkan GBHN yang sesuai dengan tuntutan ideologis dan strategis yang mendekati idealitas dan realitas.
Akhirnya, kita harus meyimak Amanat Presiden Soekarno tentang Pembangunan Semesta dan Berencana. Bahwa para perancang haluan negara itu, “harus menggariskan gambarnya dengan jiwa pelukis yang tegas, kuat, terang. Gambarkanlah sesuatu dengan garis-garis yang fors, sehingga gambar itu berkata kepada Bangsa Indonesia. Gambar itu harus mengandung harapan bagi Bangsa Indonesia, sebagai UUD 1945 juga memberi harapan kepada kita semua. Gambar ituharus dapat mengajak Bangsa Indonesia untuk mengerjakan pola yang dimaksud. UUD kita adalah tepat bagi bangsa Indonesia. Pola yang saudara ciptakan harus sesuai dengan irama, rasa, kepribadian dan tinjauan hidup bangsa Indonesia.”
(Yudi Latif, Chairman of Aktual.com)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan