Pengamat Politik yang juga Cendikiawan Aliansi Kebangsaan Yudi Latif saat diskusi "Kasus Freeport dan Penataan Ulang Pengelolaan Sumber Daya Alam" di Jakarta, Jumat (11/12). Menurut Dawam Rahardjo, tambang PT Freeport Indonesia seharusnya bisa menjadi wilayah yang menguntungkan masyarakat. Namun selama 70 tahun merdeka, pengelolaan tambang tidak memperkaya masyarakat Indonesia. Jadi Indonesia dinilai gagal total dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, terutama sektor pertambangan dan minyak & gas bumi (migas). Pasalnya, pengelolaan SDA sama sekali tidak memberikan pendapatan serta multiplier effect bagi masyarakat. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mulai meletakkan agenda restorasi Haluan Negara di tengah arena persidangan. Namun, setelah bola digulirkan di lapangan, para pemain dan penonton masih belum memiliki visi yang terang, ke mana bola akan diarahkan.

Terdapat kekaburan pandangan mengenai pengertian “Haluan   Negara”. Orang-orang menafsirnya menurut kemauan masing-masing, tanpa usaha menggali “maksud semula” (original intent) istilah tersebut dalam pemahaman para pendiri bangsa. Sebelum amandemen Konstitusi, pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar   dan garis-garis besar daripada haluan negara.”

Dengan demikian, pengertian tentang Haluan Negara itu harus   bisa dibedakan dengan Konstitusi. Juga harus dibedakan dengan   undang-undang, karena pembuatan undang-undang bukanlah   domain kewenangan MPR, melainkan kewenangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Posisi GBHN
Dalam alam pemikiran pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, seperti tertuang dalam   Pembukaan UUD 1945, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai hukum/norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar.

Bila Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, Konstitusi   mengandung prinsip-prinsip normatif, maka Haluan Negara mengandung prinsip-prinsip direktif. Nilai-nilai filosofis Pancasila   bersifat abstrak. Pasal-pasal Konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya. Untuk itu, diperlukan suatu kaidah penuntun (guiding   principles) yang berisi arahan dasar (directive   principles) tentang bagaimana cara melembagakan   nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi itu ke dalam berbagai pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara   terpimpin, terencana dan terpadu. Sebagai prinsip direktif,     haluan negara itu juga harus menjadi pedoman dalam pembuatan perundang-undangan.

Memang ada beberapa negara yang memuat prinsip-prinsip direktif itu dalam konstitusinya. Misalnya, Konstitusi India dan Filipina saat  ini, dengan mendapat inspirasi dari pasal-pasal tentang directive principles of social policies yang terdapat
pada Konstitusi  Irlandia  (1937). Konstitusi Irlandia  tersebut sudah ada sebelum para pendiri bangsa menyusun rancangan UUD 1945. Hampir pasti, orang sekaliber Soepomo dan Muhammad Yamin dengan tingkat erudisi yang luas dan perhatian yang mendalam atas subjek konstitusi sudah mengetahuinya.

Bila UUD 1945 tidak memuat prinsip-prinsip direktif tersebut dalam pasal-pasal tersendiri, sudah barangtentu ada alasannya. Pertama, persoalan ketidakcukupan waktu sehingga Soepomo   baru belakangan menyertakan naskah penjelasan UUD 1945, yang hingga taraf tentu mengandung nuansa prinsip-prinsip direktif.  Kedua, cakupan GBHN jauh lebih luas dan lebih elaboratif daripada prinsip-prinsip direktif yang bisa diakomodasi dalam konstitusi. Ketiga, muatan GBHN harus lebih dinamis dalam merespon perkembangan zaman ketimbang konstitusi. Dalam keterangannya pada Rapat Besar BPUPK (15 Juli 1945), Soepomo menyatakan, “Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis Permusyawaratan Rakyat memperhatikan   segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.”

Menurut Prof. Maria Farida Indrati S, dalam Ilmu Per-Undang-Undangan (Kanisius, 2007), fungsi MPR (sebelum   amandemen)   bisa   dibedakan   dalam   dua kualitas: “Fungsi I: Menetapkan Undang-Undang Dasar; Fungsi II a: Menetapkan garis-garis   besar daripada haluan negara; II b: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.” Lantas ia jelaskan lebih lanjut,  bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada dalam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam menjalankan fungsi yang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kualitas sebagai ‘konstituante’, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar yang hanya dilaksanakan apabila negara benar-benar menghendaki, jadi tidak secara   teratur, sedangkan dalam menjalankan fungsi yang kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang.”

Singkat kata, haluan negara sebagai prinsip-prinsip direktif kebijakan dasar politik itu seyogianya terpisah dari konstitusi dan berada di atas undang-undang. Salah satu elemennya sebagai haluan ideologis bisa dikembangkan dari penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen.

Substansi GBHN
Setiap bangsa harus memiliki konsepsi dan konsensusnya   tersendiri menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila   kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan   cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya” (Soekarno, 1989: 64).

Konsepsi tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan falsafah dan pandangan dunia, serta faktor-faktor historis-sosiologis dari bangsa yang bersangkutan. Maka dari itu, pilihan-pilihan model ketatanegaraan, juga hukum dan kebijakan dasar yang dianut oleh suatu bangsa tidak harus identik dengan model-model yang berlakudi negara lain. Dalam kaitan ini, keberadaan GBHN merupakan paket integral dari konsepsi negara kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konsepsi negara kekeluargaan yang menekankan konsensus, kebijakan politik dasar tidak diserahkan kepada Presiden sebagai ekspresi kekuatan majoritarian, melainkan   harus dirumuskan bersama melalui majelis terlengkap yang mewakili seluruh elemen kekuatan rakyat. Dalam amanatnya pada Sidang Pleno Pertama Dewan Perancang Nasional, Presiden Soekarno menyatakan, “Maka oleh karena itulah saya berpendapat bahwa pola itu sedianya dibawa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat oleh karenanya MPR itu adalah Majelis   kita yang terlengkap….Jikalau pola ini nanti sudah diterima oleh MPR, artinya jikalau  pola itu sudah  menjadi satu milik nasional….maka  pola itu harus diselenggarakan oleh segenap rakyat Indonesia…tidak boleh satu orang pun merobahnya.”

Dengan menyelami maksud asal dan praktik kenegaraan yang dijalankan para pendiri bangsa, kita bisa menyimpulkan bahwa Haluan Negara itu mengandung dua tuntunan: haluan yang bersifat ideologis dan haluan yang bersifat strategis-teknokratis.   Haluan ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal Konstitusi ke dalam berbagai perundang-undangan dan kebijakan pembangunan di segala bidang dan lapisan. Haluan strategis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).

Sebagai contoh, pada Masa Orde Lama, haluan yang bersifat ideologis itu bernama “Manipol Usdek”;  sedangkan haluan yang   bersifat strategis itu bernama “Pola Pembangunan Semesta Berencana”. Pada masa Orde Baru, haluan ideologis itu bernama   kaidah penuntun; sedangkan haluan strategis itu bernama Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang diturunkan ke dalam Rencana PembangunanLima Tahun (Repelita).

Hanya saja, haluan idelogis dalam GBHN Orde Lama itu masih   merupakan suatu “narasi besar” (master-narrative) yang bersifat abstrak, belum merupakan suatu “ideologi kerja” (working ideology) yang memberikan arahan praksis. Sedangkan dalam   GBHN Orde Baru, haluan ideologis itu masih merupakan kaidah penuntun yang sangat pendek dan normatif sebagai pengantar perencanaan pembangunan.

Restorasi GBHN
Meluasnya sokongan publik terhadap usaha  menghidupkan kembali Haluan Negara semacam   GBHN   mengindikasikan   urgensi   Haluan   Negara   dalam   kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai   kebijakan   politik   dasar   yang   berisi   prinsip-prinsip   direktif,   kedudukan Haluan   Negara   ini   seyogianya   berada   di   bawah   konstitusi   dan   di   atas   undang-undang karena prinsip-prinsip direktif ini memberikan pedoman bagi perumusan undang-undang.   Seturut dengan itu, kewenangan MPR untuk menetapkan “garis-garis besar daripada haluan negara” harus dipulihkan melalui perubahan Konstitusi.

Dengan menghidupkan kembali Haluan Negara, tidaklah berarti bahwa format danisi Haluan Negara harus sama dan sebangun dengan GBHN versi terdahulu. Yang penting, secara substansial, Haluan Negara itu  harus mengandung kaidah penuntun (guiding principles)  yang  berisi arahan-arahan dasar  (directive principles)    yang bersifat ideologis dan strategis.

Dalam   rangka   restorasi   GBHN   tersebut,   kita   bisa   memadukan   warisan-warisan positif dari berbagai rezim pemerintahan selama ini, baik Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi.

Penyusunan GBHN bisa dilakukan dengan memadukan pendekatan deduktif dan induktif.  Pendekatan deduktif diperlukan terutama dalam menyusun   prinsip-prinsip   direktif   yang   bersifat   ideologis.   Pendekatan   induktif diperlukan   untuk   menyusun   prinsip-prinsip   direktif   yang   bersitaf   strategis-teknokratis,   dengan   jalan   menampung   aspirasi   arus   bawah   melalui   mekanisme Musrembang seperti yang dikembangkan di Era Reformasi ini.

Dengan cara seperti itu,  rencana pembangunan bisa selaras dengan nilai-nilai penuntun; saat yang sama memiliki   relevansi   yang   kuat   dengan   kebutuhan   konkrit   masyarakat  di     seluruh pelosok negeri.

Kapasitas Menyusun GBHN
Apapun yang ideal di atas kertas tidak akan terealisasi seperti yang dikehendaki bila kita   tidak   memiliki   kapasitas   untuk   membuat   rancangan   dan   pelaksanaan   yang sesuai.

Masalah   terbesar   bangsa   ini   adalah   defisit   pengetahuan.   Kelangkaan kepakaran   yang   sungguh-sungguh   menguasai   bidangnya   seraya   menyimpan keyakinan dan komimen Pancasila di hatinya. Tidak perlu disebutkan bagaimana mutu   deliberatif   dan   argumentatif   dari   kebanyakan   wakil   rakyat di   parlemen. Bahkan   mereka   yang   kerap   disebut   pakar   konstitusi   pun   sering   tepergoki   tidak sungguh-sungguh menguasai materi, sejarah dan perbandingan konstitusi.

Untuk   mengatasi   hal   itu,   MPR   perlu   membentuk   semacam   “Dewan Perancang”. Keanggotaannya   bukan   hanya mewakili   unsur-unsur   lembaga   negara,   melainkan
juga   melibatkan   pribadi-pribadi   berkompeten   dan   berkomitmen   Pancasila   dariberbagai   organisasi   kemasyarakatan   (termasuk   masyarakat   adat   dan   masyarakat media), dunia akademik dan dunia usaha.

Berbekal hasil kerja Dewan Perancang inilah, MPR bisa menyusun dan menetapkan GBHN yang sesuai dengan tuntutan ideologis dan strategis yang mendekati idealitas dan realitas.

Akhirnya, kita  harus meyimak  Amanat  Presiden Soekarno tentang  Pembangunan Semesta   dan   Berencana.   Bahwa   para   perancang   haluan   negara   itu,   “harus menggariskan   gambarnya   dengan   jiwa   pelukis   yang   tegas,   kuat,   terang. Gambarkanlah sesuatu dengan garis-garis yang fors, sehingga gambar itu berkata kepada   Bangsa   Indonesia.   Gambar   itu   harus   mengandung   harapan   bagi   Bangsa Indonesia, sebagai UUD 1945 juga memberi harapan kepada kita semua. Gambar ituharus dapat mengajak Bangsa Indonesia untuk mengerjakan pola yang dimaksud. UUD kita adalah  tepat bagi  bangsa  Indonesia. Pola yang saudara  ciptakan harus sesuai dengan irama, rasa, kepribadian dan tinjauan hidup bangsa Indonesia.”

(Yudi Latif, Chairman of Aktual.com)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan