Liberalistik
Ekky menilai, segala problematika yang mendera Indonesia bukanlah kesalahan dari orang per orang. Lebih jauh, hal ini disebabkan oleh sistem negara yang terlampau liberalistik.
Ironisnya, hal ini justru semakin jadi-jadi setelah lahirnya era Reformasi.
“Di sisi lain, para korporat mengeruk sumber daya alam kita dan berlindung di bawah ketiak undang-undang sehingga aparatus hukum pun akan selalu berada di belakang mereka,” terang Ekky.
Pemaparan Ekky pun diamini oleh juru bicara 98 Radikal, Satyo Purwanto. Di tempat yang sama, ia menyatakan jika kondisi Indonesia saat ini semakin liberal.
Dalam bidang ekonomi misalnya, terjadi pengerukan sumber daya alam secara besar-besaran. Hal ini, katanya, diakibatkan oleh amandemen konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945.
“Meskipun batangnya tidak diubah, tapi ayatnya dimodifikasi sedemikian rupa,” kata pria yang akrab disapa Komeng ini.
Sistem yang kian liberalistik dan jauh dari Pancasila ini, kata Komeng, justru diperparah dengan mekanisme pengambilan kebijakan dalam pemerintah saat ini.
Walaupun telah dipayungi UU, pemerintah sebelumnya masih mengutamakan prosedur yang lebih baik jika dibanding pemerintahan Jokowi.
Kenaikan harga BBM misalnya, masih harus dibahas dan menunggu pengesahan DPR. Namun, saat ini pemerintah dapat kapan saja menaikkan harga BBM dengan dua variabel saja, yaitu nilai tukar rupiah dan harga minyak dunia, tanpa harus berkonsultasi dengan DPR.
Berkurangnya peran parlemen inilah yang sangat perbedaannya.
“Makanya tidak heran kita bisa beli mahal listrik dan BBM, yang parahnya lagi peran DPR hilang,” jelas Komeng.
Komen pun beranggapan jika sia-sia saja masyarakat susah payah bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena pada akhirnya hasil jerih payah masyarakat akan ‘dicuri’ melalui berbagai cara oleh banyak pihak yang berkaitan dengan pemerintahan.
Hal ini karena sistem yang terbangun telah melegitimasinya dan sistem justu menjauh dari Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, keyakinan Komeng terhadap pemerintah sudah sampai pada titik nadir, Ia bahkan meyebut program Nawa Cita sebagai omong kosong belaka,
Program infrastruktur pun diramalnya hanya akan berujung pada penjualan tol saja, sama halnya ketika pemerintah berencana aset Pertamina pada beberapa waktu lalu.
“Jangan bicara kedaulatan, ketahanan saja enggak ada. Kalau ada orang yang bilang akan menjadikan Indonesia maju itu omong kosong,” tegasnya.
“Kita tahu Pancasila itu hanya jadi etalase dan simbol tanpa makna,” tambah Komeng.
Ia menambahkan, roda pemerintah yang dijalankan dalam beberapa tahun ini sangat jelas bertentangan dengan Pancasila lantaran pemerintah justru memonopoli Pancasila itu sendiri.
Karenanya, kata Komeng, ia, Ekky dan orang-orang yang tergabung dalam 98 Radikal memprakarsai Rapat Akbar Bersatu yang dijadwalkan di Jakarta, 7-8 Agustus 2018.
“Kita sebagai bangsa punya kewajiban untuk mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara ini,” pungkas Komeng.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan