Jakarta, Aktual.com — Pagi-pagi sekali sejak pukul 05.00 WIB pada 19 September 1945 para pemuda telah mendatangi Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), sekarang terletak di sebelah selatan Lapangan Monas.
Pemuda-pemuda itu berkumpul bukan tanpa tujuan, mereka ingin menyuarakan tentang belum adanya perubahan yang berati seperti serdadu Jepang yang telah kalah perang tetapi masih berada di Indonesia, padahal Proklamasi Kemerdekaan sudah berkumandang sebulan sebelumnya (17 Agustus 1945).
Menurut sejarawan Rusdhy Hoesin, sekitar 300 ribu pemuda datang pada hari itu membawa spanduk serta bambu runcing, “Massa membeludak, padahal saat itu Jepang telah mengeluarkan larangan untuk berkumpul lebih dari lima orang,” kata Rusdhy di Galeri Foto Jurnalistik pada saat acara ‘Mengenang 70 tahun Rapat Raksasa Ikada’, Jakarta, Sabtu (19/9).
Dia mengatakan, awalnya pemuda ingin menggelar rapat tersebut pada 17 September 1945, tepat dengan momentum satu bulan pasca Proklamasi, namun dengan berbagai kendala maka rapat itu pun diundur hingga 19 September.
Wali Kota Jakarta saat itu, Wiryo bersama Wakilnya Mr. Roem mendatangi Kempetai dan mengatakan bahwa rapat tersebut hanya dapat dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Sambil menunggu Soekarno, para pemuda mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mereka bernyanyi-nyanyi sambil menanti kedatangan Presiden.
Pada saat yang sama di gedung KNIP (sekarang Mahkamah Agung) juga sedang berlangsung rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Rusdhy menjelaskan rapat tersebut berlangsung hingga sore hari, dan setelah rapat yaitu pukul 16.00 WIB Soekarno menyempatkan diri untuk datang ke rapat raksasa tersebut.
Badan Film Indonesia (BFI) yang merupakan cikal bakal Perusahaan Film Nasional ikut mendokumentasikan peristiwa tersebut.
Film dokumenter berjudul “Rapat Raksasa Ikada” menjadi produksi film ketiga dari BFI, namun saat ini dokumentasi itu dimiliki oleh Library of Congress di Amerika.
Dalam film hitam putih tersebut terlihat kedatangan Soekarno yang diikuti oleh ribuan mahasiswa, kemudian dia naik ke atas mimbar dan memberikan pidato singkat, yang menurut Rusdhy pidato tersebut adalah pidato tersingkat yang pernah dilontarkan Soekarno.
Namun sayang, dalam film tersebut tidak terdengar isi pidato yang dibacakan oleh Soekarno tersebut, Rusdhy pun mencoba membacakan isi pidato Soekarno itu.
“Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI, Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, maka kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin,” baca Rusdhy.
Rusdhy melanjutkan, setelah pidato Presiden selesai, rakyat yang sudah bertahan di lapangan Ikada bubar dengan teratur tanpa menimbulkan kerusuhan.
Peristiwa 70 tahun silam tersebut, menggambarkan kegairahan rakyat, khususnya pemuda dan mahasiswa dalam membuktikan suatu legitimasi politik bahwa Indonesia telah merdeka.
Rushdy menilai, nilai demokrasi yang ada pada peristiwa Rapat Raksasa Ikada dapat dilihat dari dua hal, yakni partisipasi masyarakat pada pembangunan negara dan keterkaitan antara pemerintah dengan rakyat.
Pemerintah pada masa kini harus memperhatikan rakyat sehingga mereka memiliki minat untuk menyelenggarakan pembangunan.
Direktur GFJA, Oscar Motuloh memandang film tersebut menunjukkan semangat pemuda saat itu untuk membangkitkan gelora nasionalisme.
“Rapat Raksasa Ikada jelas membangkitkan kebulatan tekad rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, termasuk pada peristiwa yang dikenal sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945 dan Peristiwa Palagan Ambarawa yang berpuncak pada 15 Desember 1945,” kata dia.
Nasionalisme Pemuda Oscar mengatakan tujuan pemutaran film sejarah yang digelar dalam rangka untuk memperkenalkan fakta-fakta terutama kepada kaum muda.
Pada zaman proklamasi pemuda memiliki peranan penting dalam memunculkan kesadaran nasionalisme, hal tersebut, lanjutnya berbeda dengan kondisi saat ini.
“Kita tidak bisa menyalahkan generasi sekarang, sejarah bisa direkayasa oleh yang berkuasa sehingga anak-anak muda tidak percaya politik. Itu yang harus diluruskan agar mereka melihat sejarah benar-benar menjadi jejak untuk masa depan,” kata dia Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu meremajakan kembali sejarah ketimbang menggelar perayaan-perayaan yang semakin menjauhkan pemuda dari akar-akar sejarah.
“Itu yang perlu dilakukan dari pada perayaan yang semakin menjauhkan akar-akar kita, pemerintah punya peran besar untuk meremajakan kembali sejarah, menambah dengan sejumlah masukan materi sehingga mereka bisa melihat lebih luas,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh: