Jakarta, Aktual.com — Rasio ketimpangan antara si miskin dan si kaya atau yang disebut gini ratio masih cukup mengkhawatirkan. Kendati pembangunan nasional dianggap sudah berjalan, tapi nyatanya ketimpangan itu masih tinggi.
Padahal, jika mengacu ke negara-negara maju, gini ratio itu sekitar 0,3 persen. Sehingga jarak antara si miskin dan si kaya memang tidak terlalu jauh. Kini gini ratio Indonesia mencapai 0,41%.
“Tapi gini ratio kita memang masih cukup tinggi. Pak JK (Wapres-Jusuf Kalla) bilang sudah lampu kuning, artinya ketimpangan itu cukup lebar. Jadi negara kita seperti layaknya Bangladesh,” ujar Ketua Eksekutif Pengawasan Bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Firdaus Jaelani, di Jakarta, Senin (9/5).
Menurut Firdaus, meski pembangunan dianggap berjalan, tapi yang ada ketimpangan antara si kaya dan si miskin smakin tinggi. Memang selama triwulan I-2015, gini ratio mengalami penurunan 0,1%. “Tapi masih di 0,4%. Artinya masih cukup besar,” tandas dia.
Dengan kondisi seperti itu, kata dia, sama saja 1% penduduk itu menguasai 50% aset indonesia. “Ini luar biasa. Makanya perlu juga bgaimana orang yang miskin ini untuk memiliki pendapatan, bisa keluar dari kemiskinan. Untuk itu, banyak yang harus dilakukan,” tukas Firdaus.
Dia menambahkan, dengan gini ratio yang masih tinggi itu, menunjukkan tingkat kesenjangan tertinggi dalam sejarah Indonesia. Bahkan jika sampai melebihi 0,5%, maka ketimpangan sudah sangat jauh antara kaya dan si miskin.
Namun demikian, kalangan kelas bawah ini memang diminta untuk bisa mengkases, bukan hanya keuangan tapi juga mereka ini bisa mengakses pendidikan. Sehingga program wajib belajar 12 tahun sangat bagus dan itu memang harus digratiskan. Selain itu juga pentingnya diberikan akses kesehatan secara gratis juga.
“Ada 80 juta rakyat miskin yang menikmati kesehatan gratis melalui BPJS Kesehatan. Setiap tahun BPJS Kesehatan disubsidi Rp3,5 triliun, dan tahun ini diperkirakan Rp5 triliun. Itu upaya pemerintah,” kata dia.
Tak hanya itu, lanjut Firdaus, para kalangan kelas menengah ke bawah juga harus dipermudah akses berusahanya, sehingga mereka dapat berusaha dan bekerja dengan baik.
“Makanya, kami terus dorong bagaimana mereka bisa menjadi entrepreneur, seperti lewat UMKM. Ini yang perlu kita galakkan,” tandas dia.
Untuk itu, OJK terus mendorong program Laku Pandai, layanan mikro, mengajak masyarakat untuk menabung program simpel dan sebagainya. Sebab OJK berharap masyarakat kelas bawah dapat menabung sedini mungkin.
“Apalagi program KUR bunganya disubsidi oleh bank. Jadi UKM yang pinjamannya di bawah Rp25 juta bisa tanpa agunan, sepanjang Anda punya prospek, maka bisa ajukan bunganya 9%,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan