Jakarta, Aktual.com – Sebuah video berisi tangis mendayu-dayu dan rintihan yang tak berkesudahan dari seorang anak beredar melalui aplikasi perpesanan akhir Maret 2020.
Video berdurasi satu menit dan delapan detik tersebut menggambarkan kesedihan anak itu akan suasana riang dan ceria di sekolah. Dia tampaknya sedang menjalani proses pendidikan paling awal, mungkin Kelompok Bermain atau Taman Kanak-Kanak (TK).
“Aku ga mau kayak gini bu… Aku kangen teman-teman.., bu guru juga.. ,” katanya dalam tangis sambil mengusap matanya yang sembab.
Proses belajar di sekolah dan pengajaran dengan interaksi fisik menumbuhkan hubungan emosional antara anak didik dan pendidik. Interaksi antaranak pun menumbuhkan pertalian emosional untuk pertemanan.
Pada hubungan keduanya (anak dengan guru dan antaranak) muncul “chemistry”. Tangis di video itu menunjukkan betapa “persenyawaan” sangat kental mewarnai awal pembelajaran di sekolah.
Namun pandemi virus corona tipe baru (COVID-19) telah mengubah segalanya. Juga memporak-porandakan semuanya, termasuk pendidikan.
Suasana normal dalam proses pembelajaran menjadi berantakan. Bahkan ketika di suatu daerah belum ada yang terpapar virus dari China itu, sekolah sudah harus diliburkan.
Sekolah adalah “korban” pertama pandemi ini. Di Kota Bekasi (Jawa Barat), misalnya, sekolah harus ditutup mulai 16 Maret 2020 padahal belum ada warga yang terinfeksi.
Jangankan pasien terinfeksi, pasien dalam pengawasan (PDP) maupun orang dalam pemantauan (ODP) pun belum ada. Suasana kehidupan masih normal, namun sekolah sudah di-“lockdown“.
Tetapi di tengah wabah yang menular cepat, mitigasi bencana harus dilakukan untuk mencegah penularan lebih luas. Mitigasi untuk mencegah penularan virus di dunia pendidikan itu dinilai sebagai wujud disiplin pihak terkait.
Tak ada perdebatan antara pihak sekolah dengan orang tua murid. Prinsip “mencegah lebih baik dari mengobati” tampaknya mendasari kesamaan sikap tersebut.
Hal itu juga menunjukkan sikap otoritas pendidikan yang lebih tegas demi melindungi kalangan pendidikan dari keterjangkitan virus ini. Yang penting sehat dulu, persoalan pelajaran tertinggal itu bisa dikejar kalau situasi sudah membaik.
Disiplin dan sikap tegas tampaknya penting dalam mencegah meluasnya wabah ini. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa semakin disiplin masyarakat dengan tetap di rumah dan belajar di rumah, maka semakin cepat wabah ini teratasi.
Tetap Belajar
Semua itu untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Yakni menghindari kerumunan, menjaga jarak fisik (physical distancing) dan jarak sosial (social distancing).
Muaranya adalah “belajar di rumah”. Namun kalau selama ini “belajar di rumah” itu identik dengan libur, tidak demikian pada saat terjadi wabah ini.
“Belajar di rumah” kali ini tetap diidentikkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Proses belajar-mengajar tetap mengikuti jadwal sekolah tetapi siswa dan gurunya di rumah masing-masing.
Mereka dipertemukan dalam hubungan suara dan tatap muka melalui aplikasi perpesanan maupun video. Jika jaringan internet memadai, proses itu bisa dilakukan secara langsung (live).
Dalam bahasa sederhana, ini sebagai wujud sekolah dalam jaringan (daring) atau sekolah “online”. Sekolah daring–mau tidak mau–harus dilakukan di tengah keterbatasan orang untuk bertemu secara langsung.
Badan PBB untuk Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Unesco) memperkirakan sekitar 300 juta peserta didik di seluruh dunia terdampak pagebluk ini. Mereka pun harus menjalani sekolah “online”.
Mereka belajar berbagai mata pelajaran secara jarak jauh. Yang menyatukan mereka dalam tatap muka dan dialog adalah teknologi informasi.
Secara fisik memang mereka berjauhan, tetapi secara visual bisa bertemu dalam kesempatan sesuai jadwal. Sekolah “online” sudah berlangsung hampir dua bulan.
Peran Guru
Siapapun tidak menyangka bahwa pada akhirnya proses belajar-mengajar yang tidak pernah terbayangkan ini harus dijalani. Pengalaman ini tentu sangat berharga sekaligus menunjukkan adanya kreativitas dan inovasi untuk terus mewujudkan pendidikan meski awalnya ada kegagapan.
Kreativitas dan inovasi sering muncul di tengah keterbatasan. Ternyata dalam situasi terpaksa dan terbatas, proses pendidikan tetap bisa dilakukan.
Walaupun tentu saja banyak yang tidak mudah mengikutinya. Juga banyak siswa yang tersiksa karena tidak bisa ketemu langsung guru dan tidak bisa bermain dengan teman-temannya.
Di sisi lain, sekolah “online” juga menempatkan betapa penting peran orang tua. Orang tua adalah guru kedua, setelah guru di sekolah anaknya.
Bedanya, di sekolah proses pengajaran ditangani guru dengan pengalaman mengajar dan pemahaman mengenai teknik mendidik yang memadai. Sedangkan di rumah diajari oleh orang tua yang profesinya hanya sedikit sekali yang menjadi guru, namun kadang lebih galak.
Bagi guru, situasi ini tampaknya memberi hikmah bahwa kreativitas dan inovasi mengajar perlu terus dievaluasi karena teknologi informasi terus berkembang. Situasi sulit ini pun yang semula diperkirakan akan menghentikan proses pembelajaran ternyata bisa diatasi meski masih ada kendala.
Situasi ini juga semestinya membuka pemahaman semakin penting teknologi informasi. Tak ada manusia yang bisa memastikan bagaimana dunia ini ke depan sehingga kreativitas dan inovasi perlu terus dijajaki, terutama mengantisipasi situasi terburuk yang bisa berimbas pada pendidikan.
Bagi kalangan orang tua, situasi ini juga perlu dicermati mengenai semakin penting peran guru yang mengajar dengan teknik dan pengalaman yang memadai. Kenyataan membuktikan betapa menjadi guru itu tidak semudah dan segampang yang dibayangkan.
Karena itu, diyakini banyak anak lebih senang belajar di sekolah dengan orang yang benar-benar berprofesi sebagai guru dan bertemu teman-temannya.
Orang tua juga diyakini semakin sadar betapa mulianya menjadi guru. Guru mendidik anak didik dengan caranya sesuai kurikulum dan tekniknya mendidik yang baik.
Karena itu, orang tua tak perlu marah ketika anaknya dimarahi atau mendapat hukuman tertentu dari guru di sekolah. Beberapa orang tua justru pernah melabrak guru ke sekolah karena menghukum anaknya.
Bukan hanya protes, kasus orang tua menganiaya guru yang menghukum anaknya juga pernah beberapa kali terjadi. Bahkan ada beberapa kasus pernah terjadi orang tua murid melaporkan guru ke polisi sehingga ada guru yang akhirnya diadili.
Situasi pandemi yang mengharuskan terselenggaranya sekolah “online” ini menjadi pelajaran bagi orang tua untuk memahami pentingnya peran guru.
Di sisi lain, semakin terbukanya jaringan internet juga menjadi tantangan bagi dunia pendidikan, terutama guru dan lembaga pendidikan. Ke depan, untuk menjadi pintar bisa belajar secara “online” dengan guru les privat.
Yang lebih ekstrem, di masa mendatang untuk tahu dan pintar bisa melalui aplikasi di telepon genggam dan kanal ilmu pengetahuan di internet. Mesin pencari informasi dan data semakin berperan menggantikan buku pelajaran.
Hal-hal seperti itu patut dicermati dan direnungkan di tengah suasana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2020.
Antara
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin