Bekasi, Aktual.com – Ratusan buruh Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama berbagai serikat pekerja lain menggelar aksi unjuk rasa sebagai bagian aksi bergelombang sejak 24-31 Oktober 2024 dengan desakan kenaikan upah.
Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan aksi di Kabupaten Bekasi dan Karawang hari ini merupakan bentuk peringatan bagi pemerintah pusat bahwa tuntutan buruh harus segera dipenuhi.
“Jika tidak ada respons positif pemerintah, buruh akan mengambil langkah lebih lanjut dengan melakukan mogok nasional,” katanya, Senin (28/10).
Ia mengaku aksi mogok nasional dijadwalkan pada 11-12 November 2024 dan akan diikuti lima juta buruh melibatkan 15.000 perusahaan di seluruh Indonesia.
Said Iqbal menyatakan tuntutan utama aksi ini adalah kenaikan upah minimum sebesar delapan hingga 10 persen serta pencabutan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau ‘Omnibus Law’.
Buruh menilai bahwa UU Cipta Kerja telah melemahkan perlindungan terhadap pekerja dengan memudahkan pemutusan hubungan kerja, memperlonggar aturan kerja kontrak dan outsourching serta membatasi hak-hak pekerja untuk memperoleh upah yang layak.
Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan inflasi yang terus meningkat, buruh memandang upah minimum saat ini tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak mereka dan keluarga.
Massa aksi ini berasal dari berbagai perusahaan, mulai sektor automotif, elektronik hingga manufaktur. Mereka turun ke jalan sebagai cerminan kekuatan kolektif buruh yang merasakan langsung dampak dari kebijakan upah minimum yang stagnan serta pemberlakuan UU Cipta Kerja.
“Di Bekasi aksi dipusatkan di Kantor Bupati Bekasi komplek perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi, Sukamahi Cikarang Pusat,” kata Ketua KC FSPMI Bekasi Sukamto.
Ia pun meminta buruh di pabrik tidak terlena dan merasa nyaman dengan kondisi saat ini karena sebelum Undang-Undang Cipta Kerja dicabut, nasib buruh masih sangat rentan.
“Tuntutan kenaikan upah minimum sebesar delapan hingga 10 persen dan pencabutan UU Cipta Kerja bukan sekadar tuntutan elit serikat, melainkan suara langsung dari buruh terdampak,” katanya.
Para pekerja yang berpartisipasi dalam aksi ini menghadapi kenyataan upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di tengah inflasi yang terus meningkat.
“Mereka juga merasakan kerentanan yang semakin tinggi akibat PHK yang mudah dan penurunan standar kerja sejak UU Cipta Kerja diberlakukan,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra