Yerusalem, Aktual.com – Lima mantan pejabat tinggi keamanan Israel mengirimkan surat kepada Presiden AS Donald Trump yang mendesaknya untuk segera mengakhiri perang dan penderitaan di Gaza.
Mereka adalah mantan Kepala Mossad, Tamir Pardo, mantan Direktur Shin Bet, Ami Ayalon, mantan komisaris Kepolisian Israel Assaf Hefetz,mantan Wakil Kepala Staf IDF Mayor Jenderal (Purn) Matan Vilnai yang kini memimpin Komandan Keamanan Israel, dan mantan Wakil Dirjen Kementerian Luar Negeri Israel Jeremy Issacharoff, mereka
Dilansir dari Times of Israel, surat yang ditujukan kepada Presiden Donald Trump pada Jumat (1/8) itu, turut dibubuhi tanda tangan dari 550 mantan pejabat keamanan Israel. Para penandatangan, mengatakan kepada Trump bahwa Israel telah ”lama mencapai” dua tujuan perang yang dapat dicapai dengan kekerasan — pembongkaran formasi militer Hamas dan tata kelolanya. Tujuan ketiga, pengembalian para sandera, yang menurut mereka hanya dapat dicapai melalui kesepakatan.
Mereka menegaskan bahwa menurut pendapat profesional mereka, Hamas bukan lagi ancaman strategis bagi Israel, dan negara memiliki kemampuan untuk mengatasi sisa kemampuan yang dimiliki kelompok teror tersebut.
”Kredibilitas Anda di mata mayoritas rakyat Israel memperkuat kemampuan Anda untuk mengarahkan Perdana Menteri Netanyahu dan pemerintahannya ke arah yang benar. Akhiri perang, kembalikan para sandera, hentikan penderitaan (di Gaza),” tulis mereka.
Terkait rencana perang berkelanjutan Netanyahu di Gaza, Forum Sandera dan Keluarga Hilang mengatakan bahwa Netanyahu sedang ”menuntun Israel dan para sandera ke jurang maut”.
”Pembicaraan, yang telah berulang kali terdengar, tentang pembebasan para sandera melalui kemenangan mutlak adalah sebuah penipuan,” kata Forum tersebut, yang mewakili mayoritas keluarga dari 50 sandera yang tersisa.
19 Mantan Pejabat Pertahanan Israel Tuntut Sudahi Perang Gaza
Sementara itu, masih dilansir dari Times of Israel, lebih dari selusin mantan pejabat yang memegang jabatan penting di Israel menegaskan kalau pertempuran di Jalur Gaza tidak lagi melayani tujuan militer, namun hanya kepentingan politik.
Hal tersebut disampaikan melalui pesan video bersama yang dikeluarkan pada Minggu (3/8) yang menyerukan diakhirinya perang di Gaza. Pesan tersebut menyatakan bahwa Israel telah mengalami lebih banyak kerugian daripada kemenangan, dan bahwa pertempuran telah berlarut-larut karena alasan politik, alih-alih kebutuhan militer strategis.
Di antara 19 pensiunan kepala staf IDF, kepala intelijen, direktur Shin Bet dan Mossad, serta komisaris polisi yang ada di dalam video tersebut, diantaranya mantan perdana menteri sekaligus kepala IDF Ehud Barak, mantan kepala staf IDF Moshe Ya’alon dan Dan Halutz, mantan direktur Shin Bet Nadav Argaman, Yoram Cohen, Ami Ayalon, Yaakov Peri, dan Carmi Gillon; mantan kepala Mossad Tamir Pardo, Efraim Halevy, dan Danny Yatom; serta mantan komisaris Kepolisian Israel Dudi Cohen, Moshe Karadi, Rafi Peled, dan Assaf Hefetz.
Banyak dari mereka yang ditampilkan dalam video tersebut sebelumnya mengkritik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan penanganan perang oleh koalisi. ”Masing-masing orang ini duduk dalam rapat kabinet, bekerja di lingkaran dalam, menghadiri semua proses pengambilan keputusan yang paling sensitif,” ujar sulih suara di awal video sebagai pengantar. ”Bersama-sama, mereka memiliki pengalaman lebih dari seribu tahun dalam keamanan nasional dan diplomasi.”
Para kritikus pemerintah mengatakan Netanyahu menghindari kesepakatan tentang akhir perang secara permanen, dan pengembalian 50 sandera yang masih ditawan demi mempertahankan koalisinya, yang bergantung pada partai-partai sayap kanan yang bersikeras melanjutkan pertempuran, termasuk para pemimpinnya yang tetap ingin menaklukkan Gaza secara permanen, mengusir penduduknya, dan menempatkannya kembali di antara orang-orang Yahudi.
Dalam video dengan subtitel bahasa Inggris, mereka berpendapat bahwa pertempuran di Gaza seharusnya sudah berakhir sejak lama dan menuntut agar Israel mengakhiri perang dengan gencatan senjata permanen, dan kesepakatan penyanderaan komprehensif yang akan membebaskan semua 50 sandera yang tersisa sekaligus.
”Kita punya kewajiban untuk bangkit dan menyampaikan apa yang perlu kita sampaikan,” kata mantan Direktur Shin Bet, Ami Ayalon. ”Perang ini awalnya adalah perang yang adil. Perang ini bersifat defensif. Namun, setelah kita mencapai semua tujuan militernya, setelah kita meraih kemenangan militer yang gemilang melawan semua musuh kita, perang ini bukan lagi perang yang adil. Perang ini membawa Negara Israel pada hilangnya keamanan dan identitasnya.”
Mantan kepala intelijen militer Amos Malka berpendapat bahwa Israel ”sudah lebih dari setahun melewati titik di mana kita seharusnya bisa mengakhiri perang dengan pencapaian operasional yang memadai.”
Sementara mantan mantan direktur Mossad, Tamir Pardo mengatakan: ”Kita sekarang sebagian besar telah menutupi kerugian. Kita berada di ambang kekalahan.”
”Apa yang dunia lihat hari ini adalah ciptaan kita sendiri,” masih kata Pardo terkait kondisi kemanusiaan yang mengerikan di Jalur Gaza. ”Kita bersembunyi di balik kebohongan yang kita buat sendiri. Kebohongan ini dijual kepada publik Israel, dan dunia telah lama memahami bahwa kebohongan itu tidak mencerminkan gambaran yang sebenarnya.”
Sementara mantan Kepala Staf IDF Moshe Ya’alon mengatakan: ”Saat ini kita memiliki pemerintahan yang telah ditarik oleh para fanatik mesianik ke arah yang tidak rasional.”
Ya’alon tampaknya merujuk pada partai Zionisme Religius sayap kanan dan Otzma Yehudit, yang keduanya menentang kesepakatan pembebasan sandera yang tersisa jika itu berarti menghentikan perang. Kedua partai tersebut masing-masing dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir.
Untuk diketahui, rekaman video tersebut dipublikasikan di kanal media sosial UnXeptable, yang menggambarkan dirinya sebagai ”gerakan akar rumput yang diluncurkan oleh sekelompok warga Israel yang tinggal di San Francisco – Bay Area untuk mendukung Israel yang demokratis.”
Untuk diketahui pula, hingga saat ini masih ada sekitar 50 orang yang masih ditawan Hamas sejak Oktober 2023, termasuk 30 orang yang diyakini telah tewas. Sementara itu, setidaknya 180 orang, termasuk 93 anak-anak, telah meninggal dunia akibat kekurangan gizi di Jalur Gaza sejak Oktober 2023 akibat kebijakan kelaparan Israel. Korban tewas akibat serangan Israel di Gaza, setidaknya sudah menewaskan lebih dari 60 ribu orang, termasuk lebih dari 18 ribu anak-anak.
(Indra Bonaparte)

















