Jakarta, Aktual.com – Setelah terkesan main-main dalam menangani wabah Covid-19 selama sebulan, pemerintah akhirnya memberi stimulus Rp405,1 triliun untuk memerangi wabah dan krisis ekonomi. Stimulus terdiri dari 4 kelompok. Bidang kesehatan dapat Rp75 triliun. Bidang kemanusiaan alias jaring pengaman sosial dapat Rp110 triliun. Insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat) dianggarkan Rp70,1 triliun. Dan terakhir, pemulihan ekonomi nasional diberikan Rp150 triliun.
Krisis ekonomi dan pemberian stimulus di Indonesia mempunyai catatan hitam. Selalu digunakan kesempatan untuk korupsi. Pertama, krisis (moneter dan) ekonomi 1998. Pemerintah, ketika itu diwakilkan Bank Indonesia (BI), memberi dana bantuan likuiditas (BLBI) Rp144,5 triliun kepada 48 bank. Tetapi, menurut audit BPK, yang tepat sasaran hanya Rp6,5 triliun. Sisanya, Rp138 triliun menguap diselewengkan dan dikorupsi. Banyak yang sudah dihukum, tetapi banyak juga yang lolos. Karena dalam proses hukum, sering kali salah bisa jadi benar, sehingga lolos.
Kedua krisis keuangan global 2008. Bank Century pada awal Oktober 2008 mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah turun tangan memberi pinjaman dan suntikan likuiditas hingga Rp6,7 triliun, yang kemudian ternyata bermasalah. Proses hukum berjalan hanya untuk beberapa orang saja. Yang lain sepertinya kebal hukum. Sampai sekarang, kasus ini tidak tuntas, sisanya menguap.
Melihat pengalaman di atas, masyarakat patut curiga krisis sekarang juga rentan disalahgunakan. Apalagi PERPPU No 1 tahun 2020 tersebut seolah-olah sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana. Perlindungan ini tercantum di Pasal 27.
Misalnya, pasal 27 ayat (1) mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa enak sekali.
Pasal 27 ini tidak pantas ada di negara supremasi hukum, di negara yang menghormati hukum. Oleh karena itu, seharusnya ditolak. Karena, tidak mungkin semua biaya pengeluaran dari stimulus ini harus dianggap sah. Ini namanya aji mumpung. Pasal ini jelas membuka peluang untuk merampok uang negara, melalui stimulus, secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus ini. Seperti terbukti di dua krisis tersebut di atas.
Misalnya, pengadaaan masker, APD, ventilator dan lainnya. Apakah biaya sebesar apapun harus diterima dan dianggap sah? Apakah proses pengadaannya boleh menyimpang dari proses normal? Kalau ternyata biayanya jauh lebih tingga dari harga normal, apakah juga dianggap sah? Kalau belinya hanya dari satu atau dua pemasok saja, apakah juga harus dianggap sah, dan tidak boleh diselidiki lebih lanjut apakah ada kolusi dalam proses pengadaannya?
Nilai “proyek” bidang kesehatan ini Rp75 triliun, sangat besar, dan akan dilaksanakan secara cepat. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa seharusnya bersama-sama mengawasi agar stimulus yang besar ini benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang sedang tertimpa musibah Covid-19. BPK, DPR, Kepolisian, KPK serta semua komponen masyarakat seharusnya turut mengawasi.
Agar terjadi transparansi, hasil pengadaan barang harus diumumkan ke masyarakat: berapa jumlah pembelian masker, APD, ventilator dan seterusnya, beli dari siapa, dengan harga berapa. Dengan demikian, diharapkan tidak ada monopoli atau kartel yang bisa mengakibatkan terjadi kerugian negara. Semoga tidak ada penguasaan impor oleh sekelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dan juga, Izin impor dan izin produksi barang-barang tersebut harus dibuat seterang-terangnya, jangan si kecil disusahkan dan si besar dipermudah.
Begitu juga dengan bantuan kepada masyarakat, baik pangan, nonpangan, dan bantuan tunai. Semua harus dibuat transparan dan diumumkan secara rinci: jumlah penerima bantuan per provinsi, kabupaten / kota dan desa. Setiap bantuan tersebut harus diketahui oleh perangkat desa sampai provinsi, bukan hanya oleh kementerian terkait (pusat).
Terakhir, stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Anggarannya Rp150 triliun. Belum jelas bagaimana pelaksanaannya. Sekilas, bantuan ini terkait dengan rencana penerbitan surat utang negara yang dinamakan recovery bond. Sedang diupayakan, bond ini bisa dibeli langsung oleh BI, yang menurut UU tentang BI saat ini, BI tidak boleh membeli bond secara langsung dari pemerintah. Oleh karena itu, untuk membuat hal ini mungkin, pemerintah harus mengeluarkan PERPPU lagi yang menghapus larangan ini.
Hasil uang dari penerbitan surat utang recovery bond ini akan diberikan secara langsung kepada perusahaan, sebagai pinjaman dari pemerintah Cara ini bisa bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya, pemerintah tidak boleh memberi pinjaman langsung kepada perusahaan swasta.
Oleh karena itu, bantuan tersebut seharusnya melalui sektor keuangan. Kalau tidak, masyarakat bisa curiga bantuan stimulus hanya disalurkan kepada perusahaan dan pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa. Dan, sekali lagi, demi transparansi, setiap bantuan kepada perusahaan harus diumumkan, termasuk jumlah bantuan.
Transparansi di atas sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan dana stimulus. Pasal 27 UU No 1 Tahun 2020 seyogyanya dihapus. Meskipun dihapus, diharapkan tidak ada yang terpidana korupsi karena transparansi di atas.
*Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)