Sementara, Sukmawati merasa puisinya itu merupakan opini dari realita yang ada tanpa bermaksud menyinggung soal masalah SARA.

“Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi. Saya sebagai budayawati berperan bukan hanya sebagai Sukmawati saja, namun saya menyelami, menghayati khususnya ibu-ibu di beberapa daerah. Ada yang banyak tidak mengerti syariat Islam, seperti di Indonesia timur di Bali dan daerah lain,” ujar Sukmawati saat dimintai konfirmasi.

Puisi yang ditulisnya itu, klaim dia, memang menggambarkan realitas di Indonesia. Dia mengatakan apa yang dia sampaikan dalam puisi itu merupakan pendapatnya secara jujur. “Lho Itu suatu realita, ini tentang Indonesia. Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam puisi itu, saya mengarang cerita. Mengarang puisi itu seperti mengarang cerita,” kata dia.

Sukmawati pun kembali mengulang karena dituding membanding-bandingan adzan dengan kidung ‘Ibu Indonesia’ yang dipersoalkan Kapitra Ampera. Puisi yang dibacakannya disebut sebagai sebuah opini.

“Soal kidung ibu pertiwi Indonesia lebih indah dari alunan adzanmu, ya boleh aja dong. Nggak selalu orang yang mengalunkan azan itu suaranya merdu. Itu suatu kenyataan. Ini kan seni suara ya. Dan kebetulan yang menempel di kuping saya adalah alunan ibu-ibu bersenandung, itu kok merdu. Itu kan suatu opini saya sebagai budayawati. Jadi ya silakan orang-orang yang melakukan tugas untuk beradzan pilihlah yang suaranya merdu, enak didengar,” ujar di lagi.

Alunan Puisi Sukmawati

Artikel ini ditulis oleh:

Antara