STOK AVTUR JELANG LEBARAN

Jakarta, aktual.com – Lonjakan tiket pesawat pada penerbangan domestik telah menjadi keluhan bagi masyarakat. Lonjakan yang tidak lazim hingga lebih dari 50 persen itu bukan hanya berdampak langsung bagi para penumpang yang kerap berpergian, namun juga mempengaruhi berbagai sektor perekonomian lainnya, khususnya sektor pariwisata.

Tapi tentunya, lonjakan tiket pesawat merupakan pukulan bagi masyarakat secara luas. Lebih-lebih Indonesia sebagai negara kepulauan, transportasi udara menjadi sarana yang sangat penting untuk mobilitas hubungan antar pulau. Dengan adanya kenaikan tarif penerbangan, sama halnya menghambat konektivitas hubungan masyarakat.

#Benarkah Avtur Menjadi Penyebab Utama?
Bahan bakar pesawat terbang memang menjadi komponen mempengaruhi harga tarif. Diperkirakan harga Avtur mempengaruhi 40 persen dari struktur cost tiket pesawat.

Tetapi jika ditelaah, kendatipun harga avtur di tanah air berbeda-beda pada setiap bandara (pengaruh biaya operasional), namun harganya relatif lebih murah dari negara tetangga.

Misalkan di Bandara Changi Singapura per tanggal 15 Februari 2019 harga Avur dipatok Rp10.769 per liter sedangkan di Indonesia, pada tanggal 14 Februari pada Bandara Soekarno-Hatta harga Avur Rp8.210, di Medan Kualanamu Rp9.320, Ngurah Rai Bali Rp9.050, Hasanuddin Makasar dijual Rp9.550 dan di Biak Rp10.980 per liter.

Kemudian atas landasan Keputusan Menteri ESDM No. 17/2019, tarif tersebut oleh Pertamina dilakukan penyesuaian harga per 16 Februari sebesar 26 persen. Seperti di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, harga semula Rp8.210 per liter menjadi Rp7.960 per liter.

Karenanya tidak tepat jika Pertamina dengan Avur nya dijadikan kabing hitam atas fenomena lonjakan harga tiket penerbang tanah air. Hal ini terkonfirmasi dari grafik harga Avtur rata-rata nasional mengalami penurunan.

Pada November 2018 Avtur dibandor sekitar Rp13.000, Desember turun dikisaran Rp9.000. Selanjutnya Januari hingga Februari 2019 harga Avtur dikisaran Rp8.000. Sebaliknya disaat harga Avtur bergerak turun, harga tiket pesawat malah mulai melonjak secara tak wajar dimulai pada Januari 2019.

Sehingga, tidak relevan bila dikatakan harga Avtur menjadi pemicu utama lonjakan tiket pesawat. Yang menjadi catatan, kendati Pertamina telah melakukan penyesuaian harga, namun tiket pesawat terpantau belum kembali normal seharga semula.

#Tuduhan monopoli Avtur oleh Pertamina
Fakta yang tak bisa disangkal memang benar bahwa Pertamina melakukan monopoli penjualan Avtur di Indonesia. Namun tidak boleh dilupakan bahwa jauh sebelumnya, bisnis ini tidak terlalu menguntungkan dan tidak dilirik oleh badan usaha lain.

Pertamina meniti usaha ini dan membangun berbagai fasilitas di bandara perintis dan bandara-bandara kecil tidak lain karena panggilan tanggung jawab Pertamina sebagai BUMN untuk membangun negeri.

Maka tidak objektif jika menilai pertamina hanya dari sisi bisnis dan mengatakan Pertamina melakukan monopoli terhadap penjualan Avtur tanpa melihat peran pengabdian Pertamina jauh sebelumnya untuk pembangunan Indonesia. Lagipula jikapun Pertamina diuntungkan, secara tidak langsung manfaatnya bagi negara dan rakyat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, belakangan banyak badan usaha swasta baik secara terang-terangan maupun samar-samar ingin berpartisipasi menyuplai Avtur. Pertanyaaannya, apakah secara regulasi diperbolehkan?

Mengacu pada Peraturan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Nomor 13 Tahun 2008, memungkinkan Badan usaha swasta turut berpartisipasi pada usaha Avtur.

Yang mana pada pasal 2 dikatakan ‘Kegiatan usaha Penyediaan dan Pendistribusian BBM Penerbangan terbuka di setiap Bandar Udara bagi seluruh Badan Usaha yang memenuhi persyaratan dengan tetap memperhatikan prinsip persaingan sehat, wajar dan transparan’.

Artinya sejak 11 tahun lalu sudah dimungkinkan untuk partisipasi swasta. Hanya saja yang menjadi catatan, selain persoalan harus memenuhi syarat pembangunan infrastruktur dan penyerapan SDM dalam negeri, hendaknya partisipasi swasta tersebut diprioritaskan pada bandara-bandara yang selama ini pelayanan Avturnya belum teroptimalisasi dan belum kompetitif.

Dengan demikian, partisipasi swasta bukan hanya mengajar keuntungan, tapi juga memiliki beban tanggungjawab untuk pembangunan Indonesia.

Oleh: Dadangsah, Direktur Energy Security Study (ESS)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin