Jakarta, Aktual.com — Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyampaikan, pemerintah sejak lama mengusulkan rencana redenominasi, atau penyederhanaan nominal rupiah. Namun, hingga sekarang rencana itu baru sebatas wacana. Pemerintah belum terlihat menunjukkan keseriusan untuk mewujudkan rencana tersebut.

“(RUU, red) Redenominasi itu sudah lama masuk prolegnas, bahkan sejak sebelum 2010. Tapi sampai sekarang belum jadi prioritas,” ujar Misbakhun usai rapat dengan Gubernur Bank Indonesia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/11).

Misbakhun menyampaikan, masyarakat perlu memahami bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Redenominasi tidak menurunkan nilai uang maupun aset, tetapi hanya menyederhanakan satuan mata uang agar sistem keuangan lebih efisien.

“Yang berkurang hanya nolnya, bukan nilainya. Tidak ada pemotongan aset atau nilai uang,” paparnya.

Bukan sekadar PMK

Rencana redenominasi kembali bergulir usai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025. Dalam PMK ini, Purbaya menargetkan kerangka regulasi redenominasi melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) kelar pada 2026-2027.

“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027,” dikutip dari PMK 70/2025 yang ditetapkan Purbaya pada 10 Oktober 2025 dan diundangkan pada 3 November 2025.

PMK juga menyebutkan, penanggung jawab penuntasan penyusunan RUU Redenominasi ialah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

“PMK itu hanya satu aspek teknis. Keputusan politik tetap ada di tangan Presiden. Kalau Presiden memutuskan jalan, DPR siap membahas undang-undangnya,” ucap Misbakhun.

Ia menilai, redenominasi bisa terwujud bila fondasi ekonomi nasional kokoh, dan stabilitas politik serta keamanan terjaga. Tanpa itu, kebijakan tersebut justru berisiko menimbulkan keguncangan baru di sektor keuangan dan psikologis masyarakat.

“Redenominasi memerlukan kondisi pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5 persen, inflasi rendah, dan stabilitas politik yang kuat. Kalau belum tercapai, jangan dipaksakan,” tegas politisi Golkar itu.

Redenominasi, katanya, juga bisa berjalan jika ada keberanian politik dari pemerintah untuk mengambil keputusan besar yang melibatkan banyak lembaga, mulai dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga kementerian keuangan.

Stabilitas Jadi Kunci

Misbakhun juga menyampaikan, meski kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini relatif stabil, dengan inflasi rendah dan pertumbuhan di atas 5 persen, namun hal itu belum cukup bagi BI untuk menerapkan redenominasi.

Menurutnya, stabilitas politik dan keamanan harus terjaga agar tidak ada gangguan ketika masa transisi penerapan redenominasi.

“Sekarang memang kita sudah lebih stabil. Tapi stabilitas itu harus terjaga. Apalagi, Pak Prabowo menargetkan pertumbuhan menuju 8 persen. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter harus terjaga secara konsisten,” katanya.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyampaikan, pihaknya saat ini lebih memilih untuk fokus bagaimana menjaga stabilitas ekonomi ketimbang menyiapkan penerapan redenominasi.

“Fokus kami menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, itu fokusnya adalah seperti itu,” ujar Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

Menurutnya, meskipun dengan adanya PMK 70/2025 menjadikan pembahasan tentang redenominasi kembali berjalan, namun BI tetap memprioritaskan untuk mengatasi persoalan ekonomi.

Karena itu, ungkap Perry, belum ada rencana BI untuk segera menyiapkan pelaksanaan redenominasi.

Kajian dan Timing

Di sisi lain, Misbakhun menyampaikan, rencana penerapan redenominasi memerlukan kajian menyeluruh yang melibatkan pakar ekonomi, intelijen, dan lembaga keuangan untuk menilai dampak riilnya terhadap sektor moneter maupun industri riil.

“Siap atau tidak siap itu harus dibuktikan lewat kajian mendalam. Kita tidak bisa hanya pakai data makro. Harus ada analisis komprehensif sebelum melangkah,” ujarnya.

Misbakhun pun mengingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan rencana redenominasi sekadar simbol pencitraan ekonomi.

“Prosesnya harus matang, termasuk sosialisasi agar masyarakat tidak panik,” katanya.

Perry juga menyampaikan, rencana penerapan redenominasi memerlukan persiapan dan pembahasan yang lama dan mendalam, serta waktu yang pas.

“Redenominasi memerlukan timing dan persiapan yang lebih lama,” paparnya.

Laporan: Taufik Akbar Harefa dan Nur Aida Nasution

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi