*Pentingnya Memahami dan Merefleksikan Teori Hukum dari Hans Kelsen
Pemikiran hukum Hans Kelsen memberikan fondasi penting bagi perkembangan teori hukum modern, terutama melalui gagasannya tentang “Hukum Murni” (Reine Rechtslehre). Teori ini bertujuan untuk memisahkan hukum dari unsur-unsur non-hukum, seperti moralitas, politik, dan sosiologi, yang kerap mencampuri analisis hukum murni. Kelsen berargumen bahwa pendekatan ini memungkinkan kita memahami hukum secara objektif sebagai sebuah sistem normatif yang mandiri dan koheren, tanpa tercampur oleh nilai-nilai subjektif atau ideologis. Dalam konteks ini, teori hukum Kelsen sangat relevan untuk diaplikasikan dalam sistem peradilan modern, termasuk dalam pengembangan pengadilan khusus sengketa pemilihan umum kepala daerah di Indonesia, di mana hukum murni perlu menjadi landasan yang adil dan netral.
Kelsen mengkritik pendekatan hukum tradisional yang sering kali mengaitkan hukum dengan prinsip moral tertentu atau justifikasi nilai tertentu. Baginya, mencampurkan hukum dengan moralitas dapat mengaburkan obyektivitas dan kesatuan sistem hukum itu sendiri. Oleh karena itu, teori Kelsen dapat membantu memberikan dasar normatif yang objektif bagi pengembangan institusi hukum di Indonesia, terutama dalam kasus-kasus yang rawan dipengaruhi politik, seperti sengketa pemilihan kepala daerah.
Pemikiran Hans Kelsen, terutama konsepnya tentang teori hukum murni (pure theory of law), memberikan perspektif yang signifikan bagi perkembangan hukum di Indonesia. Kelsen menawarkan pendekatan hukum yang fokus pada norma-norma yang objektif dan terlepas dari nilai-nilai subjektif seperti moralitas atau kepentingan politik. Dalam konteks hukum Indonesia, yang sering diwarnai oleh dinamika politik, sosial, dan budaya, pemahaman terhadap teori hukum Kelsen dapat membantu merumuskan sistem hukum yang lebih stabil, netral, dan objektif.
Indonesia adalah negara yang sangat pluralistik dengan beragam budaya, keyakinan, dan nilai sosial yang kompleks. Dalam sistem peradilannya, Indonesia menghadapi tantangan dalam menjaga obyektivitas hukum di tengah pengaruh moralitas dan politik yang kuat. Dengan demikian, teori Kelsen yang mengusulkan pemisahan hukum dari unsur moralitas dan politik menjadi sangat relevan. Pendekatan ini membantu memperkuat prinsip bahwa hukum harus dipatuhi bukan karena nilai-nilai moral tertentu, melainkan karena telah disahkan sebagai norma yang mengikat oleh otoritas yang sah.
Hukum di Indonesia sering kali berperan sebagai sarana untuk mengatasi masalah sosial dan menjadi instrumen dalam mewujudkan keadilan sosial. Namun, ketika hukum terlalu dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial tertentu atau campur tangan politik, obyektivitas hukum dapat terancam. Misalnya, dalam kasus sengketa pemilihan umum, keputusan yang diambil oleh lembaga peradilan berpotensi dipengaruhi oleh tekanan politik, sehingga obyektivitas dan integritas hukum menjadi sulit dijaga. Penerapan pemikiran Kelsen dalam hal ini akan mengarahkan hukum untuk tetap berfokus pada norma dan aturan yang berlaku, terlepas dari tekanan eksternal, sehingga lembaga peradilan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih obyektif dan profesional.
Kelsen juga menekankan pentingnya hierarki norma, yang dikenal dengan istilah Stufenbau, di mana norma hukum lebih tinggi memberikan keabsahan kepada norma yang berada di bawahnya. Sistem ini tercermin dalam sistem hukum Indonesia, di mana undang-undang dan peraturan perundang-undangan memiliki hierarki yang jelas mulai dari konstitusi hingga peraturan daerah. Dengan menerapkan prinsip ini, Indonesia dapat memperkuat kepastian hukum, di mana setiap peraturan dan keputusan hukum memiliki dasar legitimasi yang jelas dan konsisten, tanpa campur tangan nilai-nilai di luar hukum.
Refleksi terhadap teori hukum murni Hans Kelsen dapat mendukung upaya memperkokoh sistem hukum Indonesia yang stabil dan berkeadilan, terutama dalam menghadapi pengaruh sosial dan politik. Dengan memahami bahwa hukum adalah sistem norma yang otonom, diharapkan hukum di Indonesia dapat diterapkan dengan lebih netral dan obyektif, memberikan kepastian hukum yang lebih kuat bagi masyarakat, dan menjauhkan pengaruh dari intervensi yang bersifat subjektif.
*Hukum dalam Pemikiran Kelsen
Hans Kelsen (1881–1973) adalah seorang filsuf hukum terkemuka yang lahir pada 11 Oktober 1881 di Praha, Cekoslowakia. Ia menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Wina dan meraih gelar doktor pada usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1906. Setelah itu, ia melanjutkan studi tambahan di Universitas Heidelberg dan Berlin. Pada tahun 1911, Kelsen diangkat sebagai profesor dalam bidang hukum publik dan ilmu hukum di Universitas Wina, tempat ia mengajar hingga tahun 1930. Selama beberapa waktu setelah Perang Dunia Pertama (1918), Kelsen juga menjabat sebagai penasihat hukum untuk pemerintah Austria. Dalam peran ini, ia berkontribusi besar dalam menyusun beberapa rancangan konstitusi untuk mendukung berdirinya Republik Austria, dan salah satu rancangannya diadopsi sebagai Konstitusi Austria pada tahun 1920.
Hans Kelsen mendefinisikan hukum sebagai “sistem norma.” Menurutnya, hukum adalah aturan-aturan yang disusun secara hierarkis dan membentuk suatu struktur yang koheren dan otonom. Kelsen mengajukan konsep norma dasar (Grundnorm) sebagai landasan yang menjadi sumber legitimasi seluruh norma hukum dalam sistem tersebut. Norma dasar ini tidak dijustifikasi oleh norma lain tetapi diterima sebagai postulat yang harus ada untuk menjaga keberlangsungan sistem hukum.
Kelsen menekankan bahwa hukum adalah “norma-norma yang mengatur perilaku manusia.” Norma hukum berfungsi untuk menentukan apa yang harus dilakukan oleh individu dalam situasi tertentu. Dengan demikian, hukum menurut Kelsen adalah sebuah sistem normatif yang terdiri dari rangkaian aturan atau perintah yang mengikat, yang keseluruhannya mengacu pada norma dasar sebagai sumber kesahihannya. Konsep ini memungkinkan analisis hukum yang independen dari nilai-nilai eksternal, seperti moralitas atau politik, yang menurut Kelsen dapat mengganggu obyektivitas hukum.
Hans Kelsen, seorang figur utama dalam positivisme hukum, menjelaskan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma yang berlandaskan pada keharusan-keharusan (das sollen), yaitu apa yang seharusnya. Bagi Kelsen, norma adalah hasil dari pemikiran deliberatif manusia. Suatu aturan menjadi norma jika diinginkan untuk menjadi demikian, yang penetapannya didasari oleh moralitas atau nilai-nilai yang dipandang baik. Pertimbangan yang mendasari norma ini bersifat di luar hukum atau meta-yuridis. Unsur-unsur meta-yuridis ini merupakan das sollen dan belum memiliki sifat hukum yang mengikat masyarakat. Menurut Kelsen, norma hukum tercipta karena adanya kehendak manusia, dan akan menjadi mengikat bagi masyarakat jika norma tersebut memang diinginkan sebagai hukum, dituangkan dalam bentuk tertulis, serta dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang yang memuat perintah-perintah.
Pemikiran Kelsen ini mencerminkan pandangannya bahwa positivisme hukum menganggap bahwa diskusi mengenai moralitas dan nilai-nilai selesai ketika hukum positif dibentuk. Oleh karena itu, Kelsen mengungkapkan bahwa hukum ditaati bukan karena dianggap baik atau adil, melainkan karena hukum tersebut telah ditulis dan disahkan oleh otoritas. Inilah inti dari Teori Hukum Murni yang dipelopori oleh Kelsen.
Menurut Hans Kelsen, teori hukum harus berfokus pada hukum yang nyata-nyata berlaku (what the law is), bukan pada hukum yang seharusnya berlaku (what the law ought to be). Kelsen menegaskan bahwa antara kenyataan (is) dan keharusan (ought) terdapat perbedaan fundamental yang tidak dapat disatukan, sehingga hukum tidak boleh dicampur dengan nilai-nilai moral atau ideal yang sifatnya subjektif. Dalam perspektif ini, sesuatu yang bersifat “seharusnya” tidak dapat direduksi atau disamakan dengan kenyataan, demikian pula sebaliknya, kenyataan tidak dapat diubah menjadi “seharusnya.” Bagi Kelsen, hal ini menunjukkan bahwa sebuah norma hukum harus dipahami dalam kerangka keberlakuannya yang obyektif dan bukan berdasarkan nilai atau norma di luar sistem hukum.
Dualisme antara keharusan dan kenyataan ini, menurut Kelsen, bagaikan dua sisi koin yang saling melengkapi namun tetap berbeda. Di satu sisi, hukum hadir sebagai sistem normatif yang mengatur apa yang harus dilakukan, sementara kenyataan merupakan dunia faktual yang bebas dari tuntutan normatif tersebut. Dalam pandangan ini, tidak ada satu nilai pun yang bisa diturunkan dari realitas, begitu pula kenyataan tidak dapat menghasilkan nilai. Dengan kata lain, hukum tidak seharusnya dinilai berdasarkan moralitas atau nilai-nilai tertentu, karena tugas utama hukum adalah memberikan kejelasan normatif tentang apa yang berlaku secara sah.
Kelsen berupaya menjaga hukum tetap murni dan terpisah dari pengaruh nilai-nilai sosial, moral, atau politik agar hukum bisa dianalisis secara ilmiah. Hal ini memungkinkan hukum untuk tetap obyektif dan netral dalam mengatur perilaku masyarakat. Dalam konteks ini, konsep Kelsen dapat diterapkan pada berbagai sistem hukum modern, termasuk hukum di Indonesia, yang sering kali menghadapi tekanan untuk memasukkan nilai moral atau politik tertentu ke dalam hukum. Pemisahan antara “is” dan “ought” memungkinkan hukum tetap kokoh sebagai entitas normatif yang objektif, memberikan kepastian dan stabilitas bagi masyarakat, terutama dalam menghadapi dinamika sosial-politik yang sering berubah. Pendekatan Kelsen ini juga memberi kita pemahaman bahwa hukum tidak ditentukan oleh kebenaran moral, tetapi oleh statusnya sebagai aturan yang berlaku sah dalam sistem normatif tertentu.
*Cara Kerja Hukum
Dalam perspektif Kelsen, hukum bekerja melalui sistem hierarki yang disebut sebagai Stufenbau, atau “pembangunan bertingkat” norma hukum. Sistem hukum ini tersusun mulai dari norma-norma dasar di tingkat tertinggi hingga aturan-aturan yang lebih spesifik di tingkat bawah, yang mengatur tindakan individu. Setiap norma hukum berlaku karena norma hukum di atasnya memberikan dasar keabsahan bagi norma di bawahnya. Proses ini mengalir dari norma dasar yang abstrak menuju norma yang lebih konkret, dan pada akhirnya mengatur tindakan manusia.
Hukum juga bekerja dengan memberikan sanksi atas pelanggaran norma. Menurut Kelsen, aturan hukum harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat memaksa individu untuk bertindak sesuai norma melalui ancaman sanksi yang bersifat hukum. Ini berarti hukum tidak sekadar menuntut kepatuhan secara moral atau etis, melainkan secara formal berdasarkan ketentuan sanksi yang ada di dalam sistem normatifnya.
*Relasi Hukum dengan Moralitas
Kelsen berpendapat bahwa hukum dan moralitas adalah dua hal yang terpisah. Moralitas merupakan sistem normatif yang tidak dapat memaksa secara hukum dan bergantung pada nilai-nilai subjektif yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Sementara itu, hukum adalah sistem normatif yang independen yang mengatur perilaku manusia melalui norma-norma yang memaksa secara yuridis. Kelsen mengembangkan pandangan ini sebagai tanggapan terhadap tradisi pemikiran hukum alam yang menekankan keterkaitan hukum dengan moralitas.
Menurut Kelsen, hukum harus dipisahkan dari moralitas agar dapat dianalisis secara ilmiah. Menurutnya, sistem hukum adalah sistem yang netral secara nilai (nilai bebas) yang tidak boleh dipengaruhi oleh pandangan-pandangan moral. Dengan demikian, hukum dapat berlaku secara universal dan tidak bergantung pada interpretasi moral tertentu, sehingga memberi stabilitas dan kepastian hukum.
*Refleksi: Kesan dan Evaluasi atas Teori Hukum Kelsen
Teori hukum Kelsen telah memberikan dampak besar bagi dunia hukum, terutama dengan menegaskan pentingnya pendekatan positivis dalam memahami hukum sebagai sistem yang otonom. Pendekatan ini memiliki keunggulan dalam menghasilkan sistem hukum yang dapat diterapkan secara konsisten tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai subjektif yang bervariasi di masyarakat. Namun, kritik terhadap Kelsen mencakup argumen bahwa pemisahan hukum dari moralitas dapat membuat hukum menjadi alat yang kaku dan sulit menerima perubahan moral masyarakat yang dinamis.
Kelsen juga dianggap terlalu mengutamakan aspek formal hukum, sehingga mengabaikan dimensi-dimensi sosial hukum yang juga relevan. Dalam konteks Indonesia, di mana nilai moral dan budaya sangat memengaruhi cara masyarakat memahami hukum, teori Kelsen mungkin memerlukan penyesuaian atau modifikasi agar tetap relevan. Meskipun demikian, konsep dasar Kelsen dapat tetap berguna untuk menjaga keadilan yang netral dan obyektif, terutama dalam pengadilan yang rawan intervensi politik.
Dalam konteks desain pengadilan khusus untuk sengketa pemilihan umum kepala daerah di Indonesia, teori hukum Kelsen dapat berfungsi sebagai fondasi bagi pembentukan institusi peradilan yang netral dan objektif. Prinsip hukum murni, yang bebas dari pengaruh moral atau politik, sangat sesuai untuk diterapkan dalam pengadilan semacam ini yang sering kali menjadi sasaran intervensi kepentingan-kepentingan politis. Pemisahan hukum dari moralitas dan politik sebagaimana digagas oleh Kelsen akan memperkuat integritas sistem pengadilan, sehingga keputusannya dapat lebih dapat dipertanggungjawabkan secara objektif di depan publik.
Penerapan teori ini juga akan mendukung adanya kejelasan hierarki norma dalam pembentukan peraturan terkait pemilihan umum, di mana aturan-aturan yang diterapkan oleh pengadilan ini akan didasarkan pada ketentuan yang jelas dan memiliki dasar legitimasi yang kokoh. Dengan demikian, hasil pengadilan akan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip hukum formal tanpa pengaruh dari kepentingan eksternal, sesuai dengan prinsip Grundnorm.
Teori Hukum Murni Hans Kelsen memberikan dasar teoritis yang kuat untuk memahami hukum sebagai sistem normatif yang terpisah dari pengaruh eksternal. Dalam konteks sistem peradilan, terutama untuk pengadilan khusus yang menangani kasus sengketa pemilihan umum kepala daerah, teori Kelsen memberikan kerangka kerja yang netral dan dapat diandalkan. Meskipun ada kritik terhadap pendekatan yang mengabaikan moralitas, manfaat teori ini dalam memberikan kepastian hukum dan obyektivitas tetap sangat signifikan, terutama dalam kondisi sosial-politik yang rentan terhadap intervensi politik. Pemahaman mendalam mengenai prinsip hukum Kelsen dapat membantu memperkuat integritas peradilan di Indonesia, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dan memastikan sistem hukum yang bebas dari konflik kepentingan.
Oleh: Agus Widjajanto
Praktisi Hukum dan Pemerhati Politik Sosial Budaya dan Sejarah Bangsanya tinggal di Jakarta
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano