Menurut Ketua Dewan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, sertifikasi tanah dalam kerangka reforma agraria berada dibagian akhir, bukan diletakan di depan seperti keadaan saat ini.
Reformasi agraria harus dimulai dengan pendataan tanah secara menyeluruh. Dari situ pemerintah akan memiliki gambaran tentang ketimpangan kepemilikan tanah. Setelah punya gambaran, pemerintah bisa menentukan, siapa yang perlu mendapatkan tanah, siapa yang perlu tanahnya dikurangi akibat kelebihan kepemilikan.
Skemanya bisa lewat ganti rugi bila itu tanah hak milik, atau penyerahan langsung kalau itu tanah negara. Pasca proses tersebut, barulah pemerintah bisa melakukan sertifikasi tanah. Jadi sertifikasi tanah dilakukan pada bagian akhir reforma agraria, bukan di awal.
Karena jika kebijakan itu di awal justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah itu sendiri. Bila hal itu terjadi, maka tujuan reforma agraria untuk menyudahi ketimpangan kepemilikan tanah tidak tercapai.
Menurut Sekjen KPA, Dewi Kartika bagi-bagi sertifikat tanah tidak berarti otomatis sebagai reformasi agraria. Pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memang mengatur soal pendaftaran tanah untuk menjamin hak dalam bentuk sertifikasi yang mengacu pada Pasal 19 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia”.
“…biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya.”
Namun, Dewi mengatakan Jokowi belum berhasil melaksanakan reformasi agraria sesuai UUPA karena redistribusi lahan yang ia lakukan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Salah satu contohnya redistribusi lahan hanya terjadi untuk lahan bebas konflik.
“[Bagi-bagi sertifikat tanah] bukan berarti reforma agraria. Karena seharusnya ada penataan ulang dulu sebelum sertifikasi dilakukan,” kata Dewi.
Reformasi Agraria Tak Selesaikan Sengketa Lahan