Dewi memandang pemerintah mestinya membenahi ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia. Misalnya, dengan mencatat lahan milik perseorangan dengan berluas jutaan hektar yang hak guna usahanya hampir habis untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Hal ini menurutnya amanat pokok Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.
Pembagian sertifikat lahan menurutnya juga tak menyelesaikan masalah konflik agraria. Sebab, subjek penerima sertifikat tidak dibatasi kepada penggarap, melainkan kepada masyarakat yang telah lama menempati tanah tersebut.
“Pemberian modal, buku, bantuan pupuk dan lain-lain itu seharusnya dilakukan paralel. Kalau enggak begitu, tanahnya bisa diakumulasikan lagi sama kelompok-kelompok bermodal besar. Simpelnya, mereka dikasih lahan tapi enggak bisa jadi alat produksi. Datang pengusaha, diintimidasi, mereka akhirnya jual,” katanya.
Sepanjang 2015, KPA melaporkan telah terjadi sedikitnya 252 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Berdasarkan laporan akhir tahun KPA, pemenuhan hak-hak dasar warga atas sumber-sumber agraria, pemulihan hak-hak korban konflik serta upaya penyelesaian konflik agraria nyaris tak tersentuh sepanjang 2015.
Senada dengan Dewi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang Zainal Arifin mengatakan pemerintah mestinya memberi perhatian terhadap konflik lahan antara petani/rakyat kecil dengan korporasi sesuai janji kampanye nawacita. Apalagi, konflik agraria terus terjadi dan mengalami eskalasinya sangat cepat.
“Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Karena yang lama belum terselesaikan, tapi sudah muncul konflik yang baru,” imbuhnya.
Perlu Pansus Selesaikan Sengketa Lahan