Jakarta, Aktual.com – Real Estate Indonesia (REI) dan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) menggandeng Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra untuk melakukan Judicial Review terhadap Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 23/PRT/M/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) baik formil maupun material.
“Mengapa formil? karena sesuai ketentuan UU no 11 2011, diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah. Tetapi ini sudah ada permen dan pergub. Secara formil prosedur pembentukan menyalahi UU. Apabila diuji formil maka akan rontok semua. Sedangkan uji material bisa dibatalkan seluruhnya atau sebagian yang diuji. Namun saat ini kami uji kedua-duanya,” ujar Yusril di Jakarta, Kamis (17/1).
Menurutnya, Permen tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya bagi para pemilik rumah susun, termasuk juga keresahan dan gangguan kerja pada pengembang apartemen. Dalam hal rumah susun, ihwal proporsi antara kepemilikan unit-unit satuan rumah susun dikaitkan dengan hak dan kewajiban dari tiap-tiap pemilik dari satuan rumah susun, khususnya dalam rangka Pembentukan dan pengambilan suara dalam PPPSRS.
“Peraturan Menteri tersebul dikeluarkan tidak melalui pembahasan dengan pelaku pembangunan, dan diterbitkan dengan tidak mengacu kepada pasal-pasal acuan dalam Undang-undang No.20 tahun 2011, khususnya pasal 78 Undang-undang No.20 tahun 201l yang mendelegasikan kewenanganan pengaturan terkait dengan PPPSRS melalul PP bukan Permen. sedangkan hingga saat ini, rancangan terhadap PP tersebut masih dalam pembahasan secara rinci dan intensif,” kata Yusril.
Menurutnya, Peraturan Menteri tersebut diterbitkan mendahului diterbitkannya PP, sehingga secara hukum Permen tersebut tidak mempunyai payung hukum baik secara delegatif maupun atributif. Selain itu, Pengaturan mengenai hak suara pemilihan Pengurus dan pengawas P3SRS tidak di atur secara spesifik dalam Undang-undang No. 20 tahun 201l, karena secara tegas UU tersebut mendelegasikan kepada PP. Namun demikian ketentuan yang termaktub dalam Permen justru mengamar sesuatu yang bukan diamnatkan UU kepadanya.
“Apabila mengacu kepada pasal 75 UU rumah susun, pembentukan pengurus P3SRS adalah untuk kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian,” jelasnya.
Pembentuk UU Rumah Susun secara filosofis telah secara jelas menggambarkan bahwa pembentukan PPPSRS adalah merupakan penyelenggaraan rumah susun dalam tahapan pengelolaan, sebagaimana ketentuan Pasal 70 ayat 5 huruf a UU Rumah susun. Secara nyata PPPSRS hanya dapat dibentuk pada saat rumah susun telah terbangun dan telah duserahterimakan Para pemilik satuan rumah susun.
“Penggunaan sistem hak suara pemilihan pengurus dan pengawas P3SRS berdasarkan one man one vote pada Permen No. 23 tahun 2018 pasal 19 ayat (3) justru bertentangan dengan semangat yang justru diatur dalam UU RS sendiri, yakni pada tahapan pengelolaan, maka menggunakan mekanisme pemungutan suara berdasarkan NPP,” terangnya.
Terhadap substansi yang termaktub dalam Permen No. 23 tahun 2018, pihaknya melihat beberapa hal melanggar UU Rumah Susun itu seperti Pasal l9 Ayat 3 terkait pemilihan Pengurus P3SRS bertentangan dengan UU karena UU No.20 tahun 2011 pasal 75 tidak mengatur hak suara dalam pembentukan P3SRS. Demikian juga dalam keputusan MK.35/PUU-XIII/2015 tentang pemilihan pengurus P3SRS.
“Selain itu, lampiran Permen No. 23 tahun 2011 dalam anggaran dasar menyalahi UU karena terdapat penambahan hak yang tidak sesuai UU. Pembatasan kuasa dalam pengambilan suara bertentangan dengan KUH Perdata maupun Undang-undang Perseroan Terbatas,” terangya.
Sebagai kuasa hukum, pihaknya akan melakukan kajian-kajian terhadap Permen No. 23 tahun 2018, serta upaya-upaya dan atau langkah langkah hukum yang perlu diambil termasuk mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung jika diperlukan untuk mengembalikan keadilan dan kesetaraan hukum bagi para pemilik satuan unit rumah susun serta pelaku pengembang di Indonesia.
“Peraturan Pemerintah (RPP) Rumah Susun yang mengakomodir kepentingan Pemilik Satuan Rumah Susun dan Pelaku Pembangunan yang mengedepankan aspek hukum yang benar baik secara formil dan materiil, sehingga peraturan pelaksanaanya yang kemudian, dapat dijalankan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku,” terangnya.
Wakil ketua umum bidang pengelolaan apartemen dan rumah susun DPP REI, Mualim Wijoyo mengungkapkan permasalahan rumah vertikal tidak kunjung selesai sejak lahirnya UU rumah susun tahun 2011.
“Dengan adanya UU dan turunannya telah diterbitkan, namun PP pun belum dibahas, karena alotnya antara para pemilik, pelaku pembangunan dan PPPSRS,” katanya.
Menurutnya, Permen PUPR ini dalam beberapa kejadian banyak bertabrakan dengan penghuni, developer, dan pengembang. Mulai dari menjaga produk agar tetap baik, sewa menyewa hingga jual beli unit. Selain itu, perihal one man one vote merugikan penghuni apartemen atau rusun yang memiliki banyak unit.
“One vote-one man memberatkan penghuni dan developer. Misalnya, penghuni memiliki 10 unit, ketika membentuk PPPRS suaranya hanya satu. Ini yg menjadi berat. Bayangkan kalau developer memiliki ribuan unit tetapi hanya memiliki satu suara, ini akan menghambat,” jelasnya.
Pihaknya telah melakukan langkah persuasif dengan melakukan pendekatan ke Pemprop DKI Jakarta dan Kementerian PUPR. Namun tak satupun usulan yang diakomodir di Pergub dan Kementrian pupr.
“Cara terbaik adalah dengan Judicial Review ini. Harapannya, PP ini mengakomodir semua unsur mulai dari pengembang, pengelola hingga penghuni. Kita akan memberikan masukan paling fair dan menungkinkan untuk dijalankan,” jelasnya.
Ketua P3SRI Adjit Lauhatta mengatakan pembangunan properti khususnya apartemen di kota-kota besar semakin masif, seiring meningkatnya permintaan dari kaum urban. “Jika aturan yang ada saat ini tidak mendukung, maka tidak ada pengembang yang mau berinvestasi di pembangunan apartemen atau rusun,” katanya.
Wakil Ketua Umum Bidang Perundang-undangan dan Regulasi Properti DPP REI, Ignesjz Kemalawarta meminta agar pemerintah mendengar masukan dari para pengembang. Sehingga timbul keadilan yang sama-sama menguntungkan guna tercipta iklim usaha yang kondusif.
“Ini demi penghuni apartemen itu sendiri, penghuni yang akan diuntungkan bukan pihak lain,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin