Jakarta, Aktual.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tegas menyebutkan kalau reklamasi Teluk Jakarta telah menerabas konstitusi. Bahkan hingga Undang-Undang Dasar 1945 pun digilas.

Dibeberkan Sekjen Kiara, Abdul Halim, minimal ada lima aturan yang dilibas proyek reklamasi Teluk Jakarta yang begitu dibela Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Berikut aturan-aturan tersebut:

1. UUD 1945 Pasal 27 ayat 2

Pasal 27 ayat 2 menyebutkan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Menurut Halim, reklamasi Teluk Jakarta mengancam kehidupan lebih dari 10.000 keluarga nelayan tradisional yang hidup di pesisir Jakarta. Aktivitas menangkap dan mengolah ikan di wilayah pesisir merupakan hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Data Kiara di 2016 menyebutkan ada 56.309 keluarga nelayan yang berpotensi terdampak reklamasi Teluk Jakarta. Tersebar di DKI Jakarta (3.238), Jawa Barat (46.457) dan Banten (6.614).

2. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Uji Materil UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Di putusan MK Nomor 3/VPUU-VIII/2010 tentang pengujian UU No 27 Tahun 2007 menegaskan pelarangan praktek pengaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sedangkan reklamasi Teluk Jakarta memberikan ruang yang sangat lebar kepada swasta untuk melakukan pengaplingan dan komersialisasi.

3. UU No 1 Tahun 2014 Pasal 14 ayat 1-3

UU No 1/2014 tentang perubahan atas UU 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP3K).

Pasal 14 ayat 1 berbunyi: Usulan penyusunan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAPWP3K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat dan dunia usaha.

Ayat 2 berbunyi: Mekanisme penyusunan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAPWP3K pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan masyarakat.

Ayat 3 berbunyi: Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan konsep RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAPWP3K untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan.

Kenyataannya, proses perumusan dua raperda yang jadi syarat pelaksanaan reklamasi, yakni raperda zonasi dan raperda tata ruang kawasan strategis pantura tidak partisipatif. Karena tidak melibatkan masyarakat pesisir Teluk Jakarta untuk ikut merumuskan.

Masyarakat hanya sekedar diikutsertakan sebagai syarat partisipatif ketika kedua raperda itu sudah mau diparipurnakan saja. Padahal keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan perda diatur dan dijamin Pasal 96 UU Nomor 12/2011.

Dalam pedoman teknis penyusunan raperda Zonasi, konsultasi publik harusnya dilakukan antara lain melalui rapat dan lokakarya. Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan dialog masukan, tanggapan dan sanggahan antara pemerintah daerah dengan pemerintah dan pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Jakarta.

4. UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU 26/2007 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan: “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Sedangkan penataan ruang dalam reklamasi teluk Jakarta tidak memiliki orientasi memakmurkan rakyat. “Tetapi hanya untuk memakmurkan segelintir konglomerat saja,” kata Halim.

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34/2014

Permen KP 34/2014 Pasal 31 ayat 1 menyebutkan: Provinsi DKI Jakarta menyusun (Rencana Zonasi Ruang) untuk zona kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. Di Pasal 32: dalam tahapan penyusunan dokumen RZR harus dilakukan konsultasi publik. Faktanya, tidak dilakukan konsultasi publik.

(Baca: Reklamasi Teluk Jakarta Rakus Menyedot Pasir, Bupati Didepak)

Artikel ini ditulis oleh: