Yogyakarta, Aktual.com – Negara kerap bersikap timpang dalam menghadapi kasus perebutan aset antara pengembang dengan warga. Yakni dengan tidak memberi pembelaan atau perlindungan atas warganya sebagai kelompok yang rentan.

Pendapatan itu disampaikan pakar lingkungan, Dr. Eko Teguh Paripurno saat diskusi usai pemutaran film dokumenter tentang kasus reklamasi Teluk Jakarta, ‘Rayuan Pulau Palsu’, di Yogyakarta, akhir pekan lalu.

“Ini menjadi masalah,” ujar peraih gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran Bandung ini.

Untuk kasus reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, bisa terlihat seperti yang digambarkan di dalam film, pemerintah tidak melakukan peran perlindungannya terhadap nelayan sebagai kelompok marjinal. “Tidak terlihat adanya tanggung jawab negara memberi ganti rugi kepada nelayan Muara Angke,” ujar dia.

Sambung dia, kesalahan sesat berpikir aparatur negara dalam perebutan aset sumber daya ternyata lama-kelamaan jadi sebuah tipikal yang dilakukan secara berulang-ulang.

“Terdapat kesalahan paralel yang dimulai dari level bawahan hingga atasan,” kata pria yang pernah mendapat penghargaan untuk penanggulangan bencana dari PBB itu.

Sedangkan Bambang Muryanto dari Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta lebih menyoroti soal tidak berimbangnya pemberitaan di media massa terkait kasus reklamasi Teluk Jakarta.

Kata dia, pemberitaan tentang dampak reklamasi di media massa sangat timpang. Sebab menurut dia media mainstream nasional lebih memberi porsi banyak kepada versi pemerintah. “Fakta atas kondisi sehari-hari warga nelayan seharusnya juga penting untuk diangkat,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis