Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com — Kasubdit Restorasi Pesisir Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Elvita Nezon mengakui bahwasanya lahan mangrove yang berada di Teluk Jakarta sudah terbatas.

“Di jakarta Utara sana itu lahannya terbatas hanya lima hektar,” ucap Vita kepada Aktual.com saat ditemui di bilangan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (10/6) kemarin.

Sempitnya lahan mangrove itu masih harus diperparah dengan adanya reklamasi Teluk Jakarta

“Reklamasi ini kalau kita lihat memang merusak lingkungan, mau tidak mau mangrove akan rusak akibat dari aktivitas pulau tersebut,” jelas dia.

Padahal, manggrove merupakan lahan hijau yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi serta intrusi air laut. Selain itu, manggrove juga menjadi lahan tangkap alami nelayan kepiting, udang ataupun ikan.

Salah satu warga pesisir di wilayah Marunda Kepu, Jakarta Utara, Habibah (51) mengatakan, rusaknya manggrove telah menggerus ekonomi keluarganya.

“Kalau dulu satu hari bisa Rp800 ribu paling kecil Rp500 ribu. Sekarang satu kilo rebon aja udah gak ada,” tuturnya di hari yang sama.

“Sekarang sejak manggrove dirusak, nelayan-nelayan di sana pada sengsara pak, gak bisa nyari makan di sana lagi,” sambung dia.

Sebab itu, Elvita mengatakan, seharusnya reklamasi memperhatikan kehidupan pesisir terlebih dahulu sebelum dijalankan.

“Di perppres 122/2012 di situ jelas, reklamasi harus memperhatikan ekosistem pesisir, itu harus,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: