Jakarta, Aktual.com-Kebijakan yang dimunculkan Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tak luput
dari gejolak publik, khususnya para nelayan yang notabene merupakan stakeholder utama dari Kementerian tersebut.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015
tentang Pelarangan Alat Tangkap Tidak Ramah Lingkungan, telah menempatkan cantrang dan beberapa alat tangkap lainnya sebagai jenis alat tangkap yang dilarang untuk beroperasi.
Berdasarkan hasil verifikasi dari IPB, Jumlah kapal cantrang yang berukuran <10 GT (skala kecil) di tiga provinsi : Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mencapai 2.371 atau sebesar 47,9 % dari total kapal cantrang.
Tiga tahun berjalan pemerintahan Jokowi-JK, problematika cantrang ini masih belum juga dapat menemukan titik temu. Pasalnya, mulai dari janji skema peralihan alat tangkap hingga
penyelesaian kredit perbankan para nelayan yang kadung terjerat pinjaman untuk membeli cantrang masih belum dapat terpenuhi dengan sempurna. Sehingga, pada bulan Mei 2017 yang lalu, Presiden Jokowi akhirnya menginstruksikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memperpanjang masa dibolehkannya penggunaan cantrang hingga akhir tahun 2017.
Namun, kebijakan perpanjangan tersebut tentunya bukan solusi permanen atas segala polemik cantrang yang terjadi di lapangan. Selain itu, agenda penyejahteraan nelayan yang juga menjadi salah satu pilar dalam visi Poros Maritim yang digagas oleh Presiden Jokowi masih mengalami polemik yang tak kunjung usai hingga hari ini.
Atas kondisi ini, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai bahwa :
1. Kapasitas Perikanan Cantrang saat ini telah megalami kapasitas over fishing (lebih tangkap) yang meliputi: fishing area, ukuran Unit Pengolah Ikan (UPI), waktu, dan jumlah. Sebagai dampaknya, terjadilah konflik kompetisi fishing ground yang berdampak
pada operasi penangkapan. Atas hal ini, kami menilai bahwa yang menjadi masalah bukan pada alatnya, melainkan perilaku penangkapannya (ada beberapa fishing area yang seharusnya tidak boleh dilakukan penangkapan, akan tetapi tetap dilakukan
penangkapan).
2. Alih alat tangkap belum menjawab alternatif pengganti target penangkapan ikan dan secara ekonomis dapat menghambat bahan baku usaha pengolahan ikan. Hasil tangkapan dari cantrang, mayoritas digunakan sebagai bahan baku industri Surimi yang mampu mendongkrak harga bahan baku ikan sebelumnya Rp1000/kg menjadi Rp 7000/kg
Mengingat perkembangan penggunaan cantrang yang sangat cepat dan menggantungkan hajat hidup para nelayan tak terkecuali nelayan skala kecil serta polemik kesejahteraan
yang dihadapi oleh para nelayan skala kecil, maka kami merekomendasikan untuk:
1. Bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui
Sekretariat:
Jl. Yusuf Adiwinata Nomor 33, Menteng, Jakarta Pusat
Telepon: +62 21 3152246 Faks: +62 21 3905772
Website: www.knti.or.id
Email : dppknti@gmail.com
Operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses transparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait: status merusak atau tidak merusaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya;
2. Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan secara lebih masif;
3. Menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan;
4. Mendukung tumbuh kembangnya koperasi nelayan guna peningkatan kesejahteraan nelayan;
5. Menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru;
6. Bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat;
7. Selama masa perpanjangan moratorium ini, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak;
8. Memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam Rencana Zonasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir;
9. Memastikan pada Masa Perpanjangan ini agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan kriminalisasi.
Demikian rekomendasi ini kami sampaikan, semoga dapat menjadi acuan bagi Pemerintah dalam menyelesaikan polemik cantrang dan kesejahteraan nelayan yang berkepanjangan
ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs