Yogyakarta, Aktual.com – Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid berpendapat bahwa umat Muslim perlu merekonstruksi sejarah Peradaban Islam masa lampau yang memberikan tempat terhormat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan rekonstruksi sejarah lampau. Rekonstruksi adalah proses intelektual, ada elemen lama di sana, tetapi dilengkapi dengan eleman kontekstual sesuai kebutuhan masanya,” kata Fathul Wahid saat membuka kuliah umum daring bertajuk “Perkembangan Peradaban Islam” untuk mahasiswa program profesi, magister, dan doktor dipantau di Yogyakarta, Sabtu (26/6).
Menurut dia, proses rekonstruksi berbeda dengan proses reproduksi yang bersifat mekanistik dan menyalin masa lalu apa adanya.
Jika sekadar melakukan reproduksi, menurut dia, justru akan menjadikan umat Muslim tidak beranjak dari tempatnya karena selalu hidup di bawah bayang-bayang masa lalu sehingga sulit berkembang.
Menurut dia, umat Nuslim tidak sekadar harus mampu menjadi pemilik peradaban yang dikembangkan, namun di sisi lain juga harus bersedia menjadi tamu dari peradaban dan pemikiran dari tempat yang lain.
“Bagaimana nilai-nilai universal Islam kita gaungkan, kita lantangkan, dan membuka diri dari pemikiran tempat atau kalangan lain,” kata dia.
Hal tersebut, menurut dia, dapat kembali merujuk pada masa Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang amat memberikan penghargaan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada saat itu, kata dia, siapa pun ilmuwan baik muslim maupun tidak yang membantu mengembangkan ilmu pengetahuan diberi penghargaan emas seberat buku yang ditulis atau diterjemahkan.
“Ini indikasi bahwa Islam menghargai ilmu, dan ilmu pengetahuan,” ujar Fathul.
Pada abad ketiga sampai kelima setelah Islam hadir, dikatakan Fathul, banyak muslim kelas menengah yang mempunyai sumber daya dan minat tinggi dalam mempelajari ilmu pengetahuan.
Pada saat itu, sebagaimana dicatat oleh sejarah, daulah memberikan tempat yang terhormat untuk ilmu pengetahuan Yunani. Penyebaran ilmu pengetahuan menjadi luas karena dorongan dan sambutan kelas menengah muslim.
Situasi spiritual pada tiga abad pertama Islam, menurut dia, amat kondusif untuk masuknya ide dan sistem pemikiran Yunani.
“Jika kita sepakat, bahwa saat ini, Muslim cenderung tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan atau peradaban, mungkin kita bisa melakukan refleksi terhadap cerita tersebut,” kata dia. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin