Jakarta, Aktual.com Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif masih tetap relevan dan harus tetap dilanjutkan, sebagai dasar kebijakan luar negeri Indonesia dalam menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara-negara lain.

Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif bukan berarti netral dan tidak punya pendirian yang tegas. Politik Luar Negeri Bebas aktif berarti bebas dan merdeka untuk menentukan konsepsi nasional dalam urusan politik, ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan-keamanan. Dan Aktif berarti punya pendirian yang aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur yaitu, Kemerdekaan, Perdamaian abadi, dan Keadilan sosial baik secara nasional maupun global yang tentunya berasal dari hati nurani sosial manusia.

Politik Bebas Aktif harus ditujukan untuk mengatasi dan mengakhiri segala macam krisis, masalah maupun keruwetan yang terjadi di pelbagai kawasan dunia. Baik di Timur-Tengah dan Teluk Persia, Krisis utamanya Krisis di Suriah yang sudah berlangsung sejak 2011, Asia Pasifik, Afrika Utara, Semenanjung Korea, Laut Cina Selatan, maupun Ketegangan antara Amerika Serikat-Uni Eropa versus Rusia dalam Krisis Crimea.

Meskipun Politik Bebas Aktif masih relevan dan harus berlanjut terus, namun perlu reaktualisasi politik luar negeri bebas aktif atas dasar dua pertimbangan. Pertama, karena sejak era Orde Baru hingga era reformasi, ada kecenderungan kebijakan luar negeri RI semakin menjauh dari prinsip Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Kedua, didorong adanya pergeseran sentra geopolitik dan persaingan global dari Atlantik ke Asia Pasifik. Yang ditandai kemunculan tiga kekuatan besar baru yang berpotensi menjadi kekuatan alternatif yaitu India, Republik Rakyat Cina dan Rusia.

Beberapa fakta dan kenyataan lapangan yang mengemuka dalam forum diskusi yang kiranya penting menjadi perhatian adalah bahwa selama 50 tahun usia republik kita, Indonesia ternyata mengandalkan kerjasamanya hanya pada empat negara yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Cina.

Atas dasar dua pertimbangan yang melandasari perlunya reaktualisasi politik luar negeri RI maupun pergeseran tren global dari Atlantik ke Asia Pasifik yang telah memunculkan Inda, Cina dan Rusia sebagai kekuatan baru, beberapa narasumber maupun peserta aktif diskusi mendesak pemerintah maupun Stakeholders (Pemangku Kepentingan) Kebijakan Luar Negeri RI untuk meninjau kembali kebijakan luar negeri RI yang selama ini condong lebih berorientasi ke blok Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Meskipun demikian, tren pergeseran global ke Asia Pasifik yang juga ditandai oleh semakin menajamnya persaingan global antara Amerika Serikat versus Cina di kawasan ini, pada perkembangannya baik Amerika maupun Cina sama-sama berpotensi ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia.

Menyadari tren perkembangan yang mengarah pada polarisasi global antara Amerika Serikat versus Cina, maka pemerintah Indonesia harus memotori Penyusunan Strategi Perimbangan Kekuatan Baru agar tidak terseret baik ke pendulum blok Amerika-Uni Eropa di satu pihak, dan blok Cina pada pihak lain.

Atas dasar hal tersebut, maka sudah saatnya Indonesia menampilkan diri kembali sebagai Kekuatan Baru dan Penyeimbang Kekuatan Dunia di tengah-tengah Persaingan Global dewasa ini. Dengan diilhami oleh kepeloporan para founding father yang telah mencetuskan terbentuknya Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Non Blok di Beograd 1961.

Untuk menciptakan iklim yang kondusif dan menguntungkan bagi Indonesia agar kembali memainkan peran strategis sebagai pusat solusi dunia maupun Penyeimbang Kekuatan Dunia, maka Indonesia harus merevitalisasi kembali peran aktifnya di dua forum multilateral. Yaitu di forum regional Perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara ASEAN maupun forum negara-negara Islam yang tergabung di forum Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Dengan satu syarat, setelah didahului dengan sebuah cara pandang baru dan semangat baru untuk sekaligus juga merevitalisasi ASEAN dan OKI sebagai Kekuatan Penyeimbang Dunia, maupun sebagai organisasi penyalur aspirasi negara-negara berkembang.Seraya pada saat yang sama, penting bagi Indonesia untuk tetap berkomitmen untuk melestarikan dan merevitalisasikan kembali forum KTT Asia-Afrika Bandung dan KTT Gerakan Non Blok, yang mana Indonesia tercatat sebagai salah satu pelopor dan penggerak terbentuknya Kekuatan Alternatif dari kalangan negara-negara sedang berkembang untuk menghadapi kedua blok yang saling berhadapan pada masa Perang Dingin sejak dekade 1950-an hingga akhir 1980-an.

Untuk mengaktualisasikan kembali peran aktif Indonesia sebagai Penyeimbang Kekuatan Dunia, perlu disadari bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di Asia Tenggara dan yang mampu mempersenyawakan Islam, Demokrasi dan Kebangsaan, merupakan suatu modalitas sosial (social capital) yang sangat penting dan strategis. Sehingga perlu didadayagunakan secara lebih maksimal.

Untuk mendapatkan dukungan strategis dalam upaya Indonesia memelopori kembali terbentuknya Strategi Perimbangan Kekuatan Global seperti halnya pernah dipelopori Indonesia ketika mencetuskan Konferensi Asia Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Non Blok Beograd 1961, perlu menjalin kerjasama yang lebih strategis dan solid dengan Rusia, sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun sebagai negara yang mana 20 juta penduduknya beragama Islam. Sehingga merupakan modalitas sosial yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Menyadari urgensi Indonesia untuk memainkan peran aktif sebagai penyeimbang kekuatan dunia di tengah konflik global saat ini, maka pada pelaksanaannya efektifitas penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri atas dasar prinsip bebas aktif nampaknya memerlukan sinergi dan keterlibatan seluruh stakeholders kebijakan luar negeri baik dari pemerintah maupun masyarakat, sehingga dapat menjelma dalam kerangka konsep Diplomasi Total.

Untuk itu, harus ada kerjasama yang saling menguatkan dan sinergis antara jalur Government to Government Diplomacy dan People to People Diplomacy, dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain atas dasar prinsipi kesetaraan dan saling menguntungkan.

Maka dari itu People to People Diplomacy yang relatif cukup efektif dikembangkan oleh beberapa organisasi kemasyarakatan Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap komunitas Islam di pelbagai forum-forum internasional, kiranya People to People Diplomacy juga dikembangkan untuk mengeksplorasi berbagai kerjasama strategis dengan kekuatan-kekuatan baru Asia Pasifik yaitu India, Cina dan Rusia. Baik di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pendidikan, Kajian-Kajian Strategis di bidang ekonomi dan politik luar negeri, maupun Media Massa.

Perlu dibentuk Kelompok Kerja yang mewakili beberapa kementerian terkait kebijakan luar negeri maupun berbagai elemen masyarakat, dalam rangka mengeksplorasi dan merumuskan berbagai kemungkinan baru kerjasama strategis yangsaling menguntungkan dan setara dengan India, Rusia dan Cina,, di berbagai sektor strategis.

Urgensi untuk mempertimbangkan kerjasama yang lebih strategis dan solid dengan Rusia dalam rangka mendukung Strategi Perimbangan Kekuatan yang dimotori Indonesia, sudah saatnya mempertimbangkan dibentuknya Kelompok Kerja khusus membahas berbagai aspek kerjasama Indonesia-Rusia ke depan yang lebih strategis, produktif, efektif dan saling menguntungkan kedua negara dan bangsa.

Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pemerintah maupun stakeholders kebijakan luar negeri pada RI pada umumnya, untuk mewaspadai manuver diplomatik Turki, Polandia dan para Taipan/konglomerat Cina yang ada di Indonesia, yang berpotensi menyeret Indonesia ke orbit blok Barat atau Cina, sehingga merusak upaya Indonesia dan negara-negara yang sehaluan, untuk membentuk Strategi Perimbangan Kekuatan di tengah-tengah menajamnya Konflik Global antara Amerika Serikat versus Cina, khususnya di Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

Oleh: Hendrajit

(Disarikan dari Seminar Terbatas “Membangun Strategi Perimbangan Kekuatan Dalam Rangka Mengaktualisasikan Kembali Politik Luar negeri RI Yang Bebas dan Aktif” yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016.)

Artikel ini ditulis oleh:

Hendrajit