Wahyu Nugroho, Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH)
Wahyu Nugroho, Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH)

Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara konsisten membangun kepercayaan publik dalam proses penanganan perkara pengujian undang-undang atau lainnya harus diikuti oleh kesadaran dalam menjalankan kode etik hakim konstitusi. Segala bentuk perilaku yang mencerminkan etika hakim konstitusi pasti akan diketahui oleh publik, dan sekali publik mengetahui adanya perilaku atau etika yang terlanggar dari hakim konstitusi, maka akan berimplikasi kepada ketidakpercayaan publik secara umum, dan khususnya pihak-pihak yang berperkara sebagai Pemohon.

Sejumlah Pemohon dalam perkara Nomor 47/PUUXV/2017 salah satunya Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas yang pada hari Kamis, 7 Desember 2017 mencabut permohonan uji materi UU MD3 berkaitan dengan hak angket DPR untuk KPK. Alasannya adalah kekecewaan para pemohon terhadap ketua MK, Arief Hidayat beberapa minggu yang lalu disinyalir melanggar kode etik hakim dan diduga melakukan lobi-lobi dengan Komisi III DPR RI agar tetap diperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi.

Hal tersebut sangat berkorelasi dengan pemeriksaan perkara pengujian UU MD3 perihal hak angket DPR untuk KPK, seperti gayung bersambut dan transaksi politik yang saling menguntungkan. Institusi Mahkamah Konstitusi yang dibangun dengan visinya mengawal sistem peradilan konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial dan adil begitu mudahnya luntur atau ternodai dengan sekejab karena perilaku hakim konstitusi yang melanggar kode etik, lebih-lebih ‘negarawan’ secara otomatis tergadaikan. Saya sebagai Direktur LKBH Universitas Sahid Jakarta, sekaligus pegiat antikorupsi menyayangkan akan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua MK, dan saat ini sedang dalam pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Bekerja di ruang hampa, penuh dengan perenungan seperti filsuf dan butiran pemikirannya tertuang di dalam pertimbangan, membatasi pergaulan, menolak pertemuan-pertemuan tertentu, serta jauh dari hiruk pikuk konstelasi politik merupakan suatu keniscayaan dari hakim konstitusi.

Kami berharap keputusan yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mencerminkan rasa keadilan masyarakat. secara ideal, ‘negarawan’ dari hakim konstitusi yang terkoneksi secara sempurna dalam rekruitmen dan pengisian jabatan kekuasaan trias politika klasik DPR, MA dan Presiden, mulai terpilihnya hingga menjelang atau di akhir masa jabatannya haruslah terputus mata rantai diantara pusaran kekuasaan yang telah melahirkannya duduk di kursi ‘Yang Mulia’.

Saya mengutip Charles Sampford, seorang pemikir yang mengeksplorasi teori chaos (dibaca: keos) dalam ilmu hukum melalui bukunya “The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory” yang diterbitkan pada akhir tahun 1990 sebagai bentuk penolakan terhadap apa yang dipegang oleh para pemikir mazhab hukum positivistis yang mendasarkan pendapatnya pada teori sistem. Hubungan-hubungan yang terjadi diantara lembaga negara pada dasarnya menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris. Apa yang dipermukaan tampak tertib, teratur, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian dan ketidakteraturan. Hal tersebut disebabkan hubungan-hubungan diantara lembaga negara bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relation).

Relasi kekuasaan DPR dan MK rentan terjadi pelanggaran hukum dan etika, selain rekruitmen hakim konstitusi yang saat ini ada dari unsur DPR, juga tempat mengadili perkara pengujian undang-undang sebagai produk politik (DPR). Disinilah hubungan asimetris terjadi dan sangat rentan terjadinya simbiosis mutualisme diantara relasi kekuasaan tersebut. Benturan konflik kepentingan (conflict of interest) diantara lembaga pembuat regulasi dengan lembaga peradilan konstitusi secara langsung melahirkan hukum menjadi keos, etika menjadi terpisah dari hukum, seperti ruh yang terpisah dari jasadnya.

Berkaitan dengan pencabutan perkara permohonan mantan ketua KPK, Busyro Muqoddas, dkk., saya menilai adalah keputusan yang tidak tepat ditengah kondisi bangsa yang sedang terbangun krisis kepercayaan, dan pada akhirnya terjadi suatu distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap penyelenggara negara pengawal konstitusi. Mencabut permohonan dengan alasan tidak mempercayai salah satu hakim konstitusi, akan justru menimpa secara institusi MK dalam hal membangun ketidakpercayaan publik terhadap MK.

Selain itu, dengan dicabutnya permohonan tersebut, akan semakin membiarkan konflik KPK dan DPR tetap berlanjut dan akan semakin mengganggu stabilitas nasional. Bukannya ingin menyelesaikan permasalahan, tapi malah justru menghindar dari permasalahan, hanya gara-gara ulah salah satu hakim konstitusi yang diduga melanggar etika, dan disinilah menggunakan pola berpikir generalisasi, secara tidak langsung membangun opini publik untuk juga ikut menggunakan pola berpikir generalisasi tersebut yang sebenarnya mengancam eksistensi lembaga peradilan konstitusi.

Saya mendukung sepenuhnya pemohon lain yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) melalui kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa tetap konsisten melanjutkan permohonannya uji materiil UU MD3 berkaitan dengan hak angket DPR terhadap KPK. Dalam jangka pendek dan menengah, Kita harus berfikir dua tahun ke depan hajatan yang lebih besar lagi, justru akan dikembalikan lagi ke MK terkait dengan peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil, sesuai dengan visi MK, diantaranya penyelesaian sengketa pemilukada tahun 2018 dan penyelesaian sengketa pemilihan umum tahun 2019.

Keputusan MK dalam suatu perkara adalah kolektif kolegial, publik harus diberikan pemahaman dan terkonstruksi di alam pikiran delapan hakim konstitusi lainnya masih memiliki integritas dan imparsialitas. Kita tidak dapat lagi berbicara manis dalam ruang-ruang akademis dan perkuliahan adanya korelasi antara hukum, politik dan moralitas. Namun, bagaimana konsep-konsep, paradigma dan pemahaman yang telah terbangun secara utuh adanya korelasi tersebut mampu diimplementasikan dalam menjalankan kewenangannya, dan menunjukkan hubungan yang simetris diantara relasi kuasa tersebut.

Saya ingin membangun kepercayaan publik terhadap hakim-hakim konstitusi lainnya yang tetap menjaga netralitas dan imparsialitas kelembagaan peradilan konstitusi, berkaitan dengan perkara-perkara besar yang memiliki dampak secara nasional sehingga mampu memecahkan permasalahan lembaga-lembaga negara dalam mewujudkan terjaganya stabilitas nasional.

Ditulis Oleh: Wahyu Nugroho
Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka