Penulis: Shifa Putri Agdelia, Mahasiswi Sosiologi, Universitas Brawijaya Malang
MASA remaja, merupakan masa terjadinya krisis identitas atau pencarian jati diri. Masa ini disebut sebagai masa peralihan, karena individu yang berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan tata cara hidup orang dewasa.
Namun karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini, tak jarang justru menimbulkan masalah pada dirinya.
Dalam perkembangan, kepribadian seorang remaja memiliki arti khusus, dan masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang.
Ia tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau orang tua. Remaja ada diantara golongan anak dan orang dewasa.
Menurut WHO (World Health Organization), sebuah organisasi kesehatan dunia, sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja yang berumur 10-19 tahun dan sekitar 900 jiwa berada di negara berkembang.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok umur 10-19 tahun adalah 22% yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan (Soetjiningsih, 2010).
Indonesia mengalami perkembangan jumlah remaja yang sangat cepat. Dimana jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 sebanyak 290 juta jiwa yang 35% diantaranya adalah remaja usia 10-24 tahun (Badan Pusat Statistik Nasional, 2013).
Data di atas, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, terlebih bagi orang tua dalam upaya menjaga sekaligus menyelamatkan remaja dari pengaruh internal maupun eksternal.
Pengaruh internal yang dimaksud, sejauh mana orang tua memberikan pendidikan terhadap anaknya yang menginjak usia remaja. Peran orang tua sangat menentukan arah perilaku si anak.
Sementara pengaruh eksternal adalah terkait pergaulan sehari-hari, termasuk pengaruh dari perkembangan teknologi di era globalisasi yang terjadi saat ini.
Karenanya, pendidikan dari orang tua mutlak menjadi penentu baik dan buruknya perilaku si anak kelak.
Persoalan kompleks mengenai transisi dari kanak-kanak hingga dewasa sehingga timbul masalah seputar Triad Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), yaitu seksualitas, infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Inmuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), dan lain-lain.
Mengetahui pendidikan seksual untuk remaja sendiri, sangat penting untuk dilakukan agar menjauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti seks bebas di kalangan remaja yang kerap ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Remaja-remaja juga harus tahu bahwa dengan mempelajari pendidikan seksual bukanlah pemahaman yang memalukan, karena dengan memiliki pengetahuan mengenai pendidikan seksual akan menjauhkannya dengan perlakuan-perlakuan yang tidak diinginkan.
Contoh dari pendidikan seksual yang menjadi concern era modern yaitu penggunaan alat kontrasepsi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa era modern ini yang dimana teknologi semakin canggih sehingga banyak remaja dapat mengakses informasi yang tidak sesuai umurnya dan mencoba untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai umur mereka.
Oleh karena itu, dengan adanya pendidikan seksual mengenai alat kontrasepsi sangat dibutuhkan untuk pemahaman-pemahaman remaja era modern ini.
Alat kontrsepsi tidak hanya untuk laki-laki tetapi perempuan juga memiliki alat kontrasepsi yang dimana berguna untuk kesehatan reproduksi mau itu bagi laki-laki ataupun perempuan karena kematangan reproduksi sudah terjadi sejak remaja.
Bagaimana dengan remaja disabilitas?
Apakah mereka juga membutuhkan pengetahuan mengenai alat kontrasepsi?
Remaja disabilitas terkadang masih diabaikan dalam pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, karena mereka dianggap tidak aktif secara seksual.
Apabila ditinjau lebih remaja disabilitas masih kekurangan informasi mengenai bagaimana tubuh mereka berkembang dan adanya perubahan secara fisik maupun psikologis yang dialaminya.
Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal 7 yang berbunyi bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan secara imbang dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu remaja disabilitas juga memerlukan adanya edukasi mengenai pendidikan seksual.
Dilansir dari Teenagevogue, serial sex education menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga membutuhkan pendidikan seks.
Shane Burcaw, advokat disabilitas dan pendiri organisasi nirlaba Laughing At My Nightmare yang memiliki bentuk distrofi otot yang membuatnya harus menggunakan kursi roda selama 20 tahun terakhir, mengaku mendapat hiburan dalam menonton karakter layar yang mengeksplorasi seksualitas mereka.
“Karena sebelumnya tidak ada contoh penyandang disabilitas sepertinya yang dianggap menarik, maupun sebagai pasangan yang diinginkan. Hal itu membuat Burcaw merasa seperti ia tidak mampu menemukan cinta,” katanya.
“Saya meragukan nilai saya sebagai pasangan. Saat SMA, saya tidak pernah mendapat pelajaran maupun panutan tentang pacar yang ‘baik’, bisa berhubungan seks dan berpelukan serta berpegangan tangan,” lanjut dia.
Ternyata Burcaw menemukan ada terlalu banyak penyandang disabilitas yang bisa dikatakan relate dengan pengalamannya.
Menurut laporan tahun 2021 dari SEICUS, 36 negara bagian sama sekali tidak memasukkan penyandang disabilitas muda dalam persyaratan pendidikan seks mereka, atau menyediakan sumber daya terkait pendidikan seks yang dapat diakses.
Dari mereka yang melakukannya, hanya tiga yang secara eksplisit memasukkan pemuda penyandang disabilitas dalam mandat pendidikan seks, sementara yang lain hanya membutuhkan sumber daya yang dapat diakses.
Sementara, ketika program pendidikan seks mengabaikan penyandang disabilitas, para siswa tersebut dapat kehilangan pelajaran penting tentang kesehatan seksual, dan harga diri.
Untungnya, program pendidikan seks yang komprehensif dapat memberdayakan penyandang disabilitas untuk lebih percaya diri dalam seksualitas dan tubuh mereka.
Untuk memberi tahu remaja disabilitas mengenai pendidikan seksual yang concern terhadap alat kontrasepsi dapat dilakukan dari dasar yaitu disesuaikan dengan kondisi psikologi, fisik, dan tingkat usia remaja yang bersangkutan.
Selain itu juga dapat memberi tahu mereka mengenai penggunaan-penggunaan alat kontrasepsi bagi laki-laki maupun perempuan dan fungsi serta dampak dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut.
Sayangnya, pendidikan seks di Indonesia, masih dianggap menjadi suatu hal yang tabu untuk diberikan kepada anak-anak dan remaja. Orangtua dan orang dewasa merasa risih dan enggan saat anak-anak dan remaja menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan seks dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan atau mengatakan pada mereka jika mereka akan tahu dengan sendirinya saat dewasa.
Dengan tidak memberikan jawaban tentang seks secara baik, benar dan jelas kepada anak-anak dan remaja, hal ini akan menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Perubahan fisik dan hormonal pada remaja saat peralihan dari anak-anak menjadi remaja, membuat mereka merasa ingin tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuh mereka.
Remaja yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu, akhirnya akan mencari tahu sendiri atau bertanya ke teman yang tidak sedikit memberikan pengetahuan yang salah kepada mereka mengenai seks.
Sebenarnya apa definisi dari pendidikan seks itu sendiri dan mengapa orangtua enggan untuk mengenalkannya kepada anak-anak dan remaja?
Seks itu sendiri menurut KBBI adalah jenis kelamin, yang berhubungan dengan alat kelamin. Selama ini yang menjadi stigma masyarakat, pendidikan seks adalah pendidikan yang mengajarkan tentang kegiatan seksual yang ditakutkan hanya akan membuat anak-anak dan remaja malah melakukan seks bebas.
Padahal pendidikan seks adalah pengetahuan yang berisi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan anatomi tubuh manusia, sistem reproduksi manusia, proses pembuahan hingga kehamilan, hubungan seksual yang sehat, tingkah laku seksual, dan penularan penyakit seksual, seperti HIV/AIDS.
Pendidikan seks juga mengajarkan soal perkembangan alat kelamin dan perubahan fisik pada wanita dan laki-laki seperti proses menstruasi dan mimpi basah pada laki-laki yang terkadang para remaja terlalu malu untuk bertanya pada orangtua mereka hingga akhirnya mereka pun mencari tahu sendiri melalui mesin pencari di gadget mereka masing-masing atau bertanya ke teman-teman mereka yang tidak jarang mereka mendapatkan informasi yang salah dan tidak tepat. (*)
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano