Jakarta, Aktual.com — Ketua Departemen Ristek Energi dan Sumberdaya Mineral KAHMI, Lukman Malanuang mengatakan, holding BUMN energi yang dibesut oleh Menteri Rini Soemarno, dilakukan secara terburu-buru.
Menurutnya proses holding tersebut harus dikaji secara mendalam dan komprehensif, dia mengkhawatirkan konsep holding yang ditawarkan Rini hanya akan menyuburkan prilaku pemburu rente, penumpang gelap, serta adanya pihak yang diuntungkan dari segelintir orang dan golongan.
“Sikap terburu-buru dalam pembentukan holding energi ini menunjukkan pemerintah tidak punya roadmap dalam mengembangkan sektor energi, KAHMI ingin holding energi harus mempunyai payung hukum yang kuat dan jelas,” katanya di KAHMI Center Jakarta, Jumat (3/6).
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi VI DPR, Azam Azman Natawijaya mempermasalahkan keterburu-buruan Menteri Rini hingga tanpa mendapat izin dari DPR dan hanya hanya mengandalkan Peraturan Pemerintah (PP). Dia mengatakan tindakan Rini akan menabrak perundang-undangan.
“Jadi kalau PP nya keluar, maka akan melangkahi DPR, apalagi ada putusan MK No.62 tahun 2013 bahwa keuangan BUMN itu merupakan keuangan negara,” katanya saat ditemui di Gedung DPR Senayan Jakarta, Kamis (2/5)
Lebih lanjut dia menjelaskan dalam UU No.1 tahun 2004 menyatakan perubahan, penjualan dan pemindahan, aset negara yang bernilai lebih dari Rp100 miliar harus izin DPR, sedangkan diketahui holding BUMN jauh melampaui nilai tersebut.
Tidak hanya itu, dia mengaku Komis VI Juga telah meminta pendapat pakar dan hasilnya juga menyatakan hawa kebijakan holding harus berdasarkan izin lembaga di Senayan tersebut.
“Kemarin kita sudah bicara juga dengan Ichsanudin Noorsy. Nah pandangan beliau itu sama juga dengan kita. Bahwa ada transaksi material yang bernilai diatas 100 miliar harus izin DPR,” tukasnya.
Dia menegaskan jika tidak ada izin DPR, berarti Menteri Rini menghindar dari UU No1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Konsekuensinya adalah kebijakan itu akan dipermasalahkan pihaknya.
Diketahui sebelumnya Menteri Rini menegaskan bahwa pelaksana holding yang ditanganinya tidak membutuhkan persetujuan dari lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI).
“Tidak perlu izin DPR, tapi kita tetap koordinasi,” kata Rini saat ditemui di Kantor Pusat Pertamina Jakarta, Kamis (26/5).
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan