Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar mengatakan, rencana pelaporan balik yang mengancam korban perundungan oleh pegawai Komisi Penyiaran Indonesia Pusat berinisial MS merupakan bagian dari upaya kriminalisasi korban.
“Ini bagian dari upaya kriminalisasi terhadap korban,” kata Wahyudi Djafar ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/9).
Pernyataan tersebut ia utarakan ketika menanggapi rencana terlapor atau terduga pelaku perundungan dan pelecehan seksual di KPI Pusat yang akan melaporkan MS atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut Wahyudi, kriminalisasi korban seringkali menjadi penyebab korban perundungan dan pelecehan seksual menjadi sulit untuk bersuara dan sulit untuk mengungkapkan apa yang mereka alami.
Terdapat tekanan-tekanan serta ancaman dari pihak pelaku yang akan menjadi bumerang bagi korban ketika melaporkan tindakan yang ia alami, kata Wahyudi. Apalagi, terdapat kemungkinan bahwa perundungan dan pelecehan seksual tidak dapat dibuktikan lantaran kurangnya bukti.
“Ini justru semakin mem-viktimisasi korban. Mengorbankan korban,” ujar dia seraya memberi penegasan.
Bagi Wahyudi, tindakan korban bisa dikualifikasikan sebagai pembelaan diri. “Sayangnya, dalam rumusan UU ITE, tidak terdapat katup pengaman seperti dalih pembelaan diri,” kata Wahyudi pula.
Katup pengaman tersebut, Wahyudi menambahkan, dapat menjadi salah satu alasan mengapa UU ITE harus segera direvisi. Ia berharap agar UU ITE tidak disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap korban.
Sebelumnya, Tegar Putuhena selaku kuasa hukum terlapor atau terduga pelaku perundungan dan pelecehan seksual mengatakan bahwa ia dan kliennya (RT dan EO) berencana melakukan pelaporan balik terhadap MS atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pernyataan tersebut ia utarakan di Polres Metro Jakarta Pusat, Senin (6/9).
Tegar mengatakan bahwa rilis pers yang disebarkan oleh MS melalui aplikasi perpesanan berisikan identitas pribadi para terlapor, sehingga menimbulkan cyber bullying terhadap terlapor dan keluarga mereka.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu