Yogyakarta, Aktual.com – Pemerintah Provinsi Yogyakarta, sedang menggalakkan Vertical Housing/Living. Ini dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi ketersediaan lahan kosong sebagai tempat pemukiman.
Pemprov Yogyakarta bersemangat untuk menjalankan program tersebut, karena melihat peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang semakin bertambah, sehingga menilai program tersebut menjadi sesuatu yang penting.
Namun, rencana Pemprov Yogyakarta itu mendapat kritikan dari beberapa kalangan, yang menilai pembangunan program tersebut tidak mengindahkan analisa resiko kegempaan di wilayah tersebut.
Terkait analisis resiko kegempaan, wilayah Yogyakarta yang berada di selatan pulau Jawa yang diapit patahan Indo-Australia dan Eurasia, sehingga memiliki potensi tinggi akan terjadinya kembali gempa tektonik seperti 10 tahun lalu.
“Kekuatan vertical housing ini tidak aman bagi pemukiman warga yang ada disekitarnya, karena gempa bisa kapan saja terjadi, kita harus lihat pengalaman di 2006,” kata Halik Sandera, Ketua Wahana Lingkungan Hidup DIY, di Yogyakarta, Senin (4/4).
Sekilas mengingat, gempa tektonik 5,9 skala richter pada Mei 2006 silam yang terjadi selama 57 detik, tercatat korban tewas setidaknya 326 jiwa di wilayah Sleman dan korban luka mencapai lebih dari 5.000 orang. Untuk wilayah kota Yogya sendiri tercatat tak kurang dari 165 jiwa meninggal dunia. Bencana tersebut hingga kini masih menyisakan trauma dan ketakutan bagi sebagian masyarakat Yogyakarta.
Setiap wilayah akan berproyeksi terhadap pembangunan. Namun demikian, konsep vertical living sesungguhnya bukan satu-satunya solusi atas kebutuhan lahan pemukiman wilayah perkotaan, setidaknya itu yang disampaikan Peneliti PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan, Emmy Yuniarti Rusadi kepada Aktual.com, Senin (4/4) di Yogyakarta.
Ia berpendapat, bahwa pemerintah daerah juga harus membuat pusat-pusat ekonomi baru yang lebih kompleks disekitar wilayah perkotaan, meskipun hal tersebut memakan waktu yang panjang karena berkaitan dengan penataan dan pembentukan populasi masyarakat baru.
“Artinya, didalam zona pemukiman baru tersebut juga harus dibangun sekolah, pasar tradisional, rumah sakit, dan sebagainya, sehingga membuat orang tidak terlalu jauh melakukan aktifitas, itu jauh lebih efisien,” paparnya.
Dalam teori tata ruang, Emmy memberi catatan bahwa pembangunan zona ekonomi baru ini tetap harus memperhatikan mekanisme KDBnya atau perhitungan luas lantai dasar, karena jika KDBnya besar tentu lahan yang dipergunakan akan tetap banyak.
Ia sendiri meyakini kualitas engineer yang dimiliki Indonesia saat ini sudah bisa memprediksi analisis resiko kegempaan atas konsep vertical living ini jika memang harus dilakukan. Ring-ring zona rawan gempa untuk wilayah kota Yogyakarta dinilai tergolong aman, sedangkan untuk daerah Kabupaten Bantul dan sekitarnya memang masih terhitung rawan.
“Ketika kita menerapkan sesuatu selalu ada dua resiko yang dihasilkan, selain resiko kegempaan, kita mengorbankan kan sisi (adaptasi) sosialnya, akan terjadi perubahan budaya bagi mereka yang biasanya menempati hunian ‘landed house’ atau ‘horizontal living’, namun pengalaman saya saat berkomunikasi dengan komunitas masyarakat sebenarnya mereka menginginkan rusun, tapi rusun yang layak huni. Tidak seperti kandang burung dara,” ungkap Emmy.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis