Oleh: Irawan Santoso, SH

Jakarta, aktual.com – Riba telah menjadi system. Dari negara sampai keluarga, terjerat utang berbunga. Bunga berbunga. Ini dikata riba majemuk. Modernisme itulah yang mengenalkan system riba. Bahasa lainnya, kapitalisme. Kaum oligarkhi, tentu nyaman dengan system riba. Karena model riba, hanya berlaku dua posisi: debitur dan kreditur. Lex Divina melarang pola ini.

Ternyata aturan hukum melegalkan. Mekanisme utang berbunga, terpatri dalam aturan hukum. Nusantara mulai mengenalnya sejak masa penjajahan. Hindia Belanda membawanya. Mereka mengadopsi Code Napoleon. Isinya tiga kitab hukum induk: Code Penal, Code, Civil, dan Code de Commerce. Azas konkordansi yang dianut Hindia Belanda, mengekspor aturan ini sampai ke nusantara. Aturan legalisasi riba, terpatri dalam Code Civil itu. Belanda menterjemahkannya menjadi Burgelijk Wetboek. Inilah yang kemudian menjadi KUH Perdata. Sampai sekarang tak pernah diubah. Murni diadopsi. Ini aturan yang asalnya dari Code Napoleon. Napoleon memberlakukannya sejak pasca Revolusi Perancis, 1789. Apa itu revolusi Perancis? Ini perang aqidah di Eropa. Antara pengikut patriotisme melawan pengikut dogma Gereja Roma. Mereka tak lagi tunduk pada aturan Tuhan. Melainkan mencari hukum rasio, yang sumbernya bukan kitab suci. Karena telah menggantung Raja Louis XVI. Raja disimbolisasi sebagai “wakil Tuhan” dalam era pra revolusi. Vox Rei Vox Dei. Suara Raja suara Tuhan.

Napoleon jadi Kaisar Perancis. 75 borjuis Perancis mengangkatnya. Napoleon tak lagi dilantik oleh Gereja Roma. Tapi oleh kaum bankir. Oligarkhi. Mereka memberikan utang berbunga pada sang Kaisar. Pasca mereka mengkudeta Robbiespierre, pemimpin revolusi. Karena Robiespierre, tak mau tunduk pada oligarkhi bankir. Lalu Napoleon jadi raja. Tapi bankir itu meminta jatah: mengatur kendali kerajaan Perancis baru. Berdirinya “Bank de France.” Central bank. Entitas ini kerap hadir dalam state modern. Tak ada lagi trias politica ala Montesquei. Itu basi. Karena central bank yang sejatinya “penguasa” yang mengendalikan sebuah ‘state modern.’ Stendhal, sejarawan Inggris berkata, sesiapa mengendalikan harta, dialah penguasa. Karena tak ada penguasa tanpa mengendalikan harta. Simbol harta yang utama adalah uang. Jadi siapa mengatur system uang, dialah yang berkuasa. Terbukti, pemimpin-pemimpin modern state, tak satupun berdikari mengendalikan ‘uang’ dalam negaranya. ‘Currenzy’ tak diatur oleh senat. Dari Amerika kita bisa lihat, kurs mata uang, tak lahir dari “beschikking” Gedung Putih. Melainkan berada dalam kekuasaan The Federal Reserve Bank. Pola ini yang berlangsung seantero dunia kini.

Ini memuncak dari pasca Perang Dunia II. Setelah revolusi Perancis, bankir terus menggeliat mengekspor pahamnya. Mengekspor dan memaksa mekanisme keuangan dan kekuasaannya. Hingga mereka mengatur perang antar negara. Musuh mereka cuma satu: entitas agama. Revolusi Perancis, mereka menghancurkan entitas Nasrani. Tak ada lagi kedigdayaan Gereja Roma. Lalu setelahnya merambah ke negeri-negeri muslim. Jadilah Daulah Utsmaniyya, diobok-obok dari luar dan dalam. Senjata mereka adalah filsafat. Karena rasio mudah dikooptasi. John Locke pernah berpesan, “Wahyu tetap diperlukan karena ada yang kerap menyalahgunakan akalnya.” Modernisme inilah fakta betapa reason law, berubah menjadi akal-akalan. Wujudnya bisa dilihat sekarang.

Lalu, dirancang ideologi positivisme. John Austin, sampai Auguste Comte jadi pondasi. Hans Kelsen menjadi dukun utama teori ‘hukum murni.’ Positivisme seolah harga mati. Reason law mengkudeta natural law. Revolusi Perancis itulah kemenangan awal “positivism.” Tak ada lagi Lex Divina. Yang ada hanya –merujuk Thomas Aquinas menyebutnya– lex aeterna. Hukum setan.

Dari ideologi itulah menusuk masuk legalisasi riba. Oligarkhi bankir berkepentingan Supaya utang harus berbunga. Mereka telah punya nasabah para head of state. Kejadian Bretton Wood, 1946, itu jadi bukti. Para “head of state” dibawah oligarkhi bankir. Mereka tunduk dan patuh bahwa urusan ‘uang’, sepenuhnya dibawah kendali bankir. Makanya “Gedung Putih” tak bisa mengendalikan kurs Dollar. Maka, kala George Washington mengklaim Amerika adalah negara Republik jelmaan Romawi, tentu dia keliru jauh. Washington tak melihat bagaimana konsep Republik yang sejati.

Bicara Republik, ini kosakata dari Yunani Kuno. Cicero menterjemahkannya dalam kitabnya “Republik.” Cicero (106-43 SM), tokoh besar Romawi sejaman Julius Caesar, menuliskan tentang Bagaimana republik harus dijalankan. Masa itu, riba juga telah dikenal. Mereka menyebutnya ‘usury’. Pelaku riba, selalu hadir setiap jaman. Karena mereka kerap tunduk patuh pada ‘lex aeterna.’

Romawi juga memusuhi riba. Geliat oligarkhi, pebisnis uang, mulai tampak juga meresahkan republik. Cicero menganggap perilaku ‘riba’ itu tak sesuai dengan konsep negara republik. Dalam bukunya: The Officis”, Buku II, Cicero menegaskan kebenciannya pada riba. Dalam dialognya dengam Cato, Cicero menguraikan, “Apa yang dikatakan tentang mencari keuntungan dengan riba?” Cato menjawab, “Apa yang dimaksud dengan menghasilkan keuntungan dengan membunuh?” Cicero menegaskan, mencari keuntungan dengan riba, itu sama saja dengan mencari untung dari pembunuhan. Karena riba sangat kejam. Begitulah cara pandang Cicero, konseptor Republik, era Romawi. Memungut riba, perbuatan yang keji.

Dalam bukunya “Republik,” Cicero lebih tegas lagi. “Leluhur kita punya metode sendiri dalam memulihkan masalah utang. Solon, dari Athena, telah lebih dulu menemukannya. Tapi senat tak mengadopsinya. Yaitu ketika muncul perilaku kreditur yang buruk, seluruh penduduk dibebaskan akibat penindasan utang…”

Itu kata Cicero. Dia tegas, pelaku riba –kreditur yang buruk—harus dilawan. Senat harus memimpin kebijakan, bahwa penduduk harus dibebaskan dari penindasan utang. Begitulah Republik menurut Cicero. Republik adalah anti riba. Dalam Republik, tak diperkenankan adanya kreditur yang menindas. Kejadian Napoleon di bawah kendali bankir, bisa dilihat bagaimana formula kreditur buruk itu kini.

Lalu, longok lagi Bagaimana Republik menurut si konseptor awal. Kita bisa lihat pada masa Yunani Kuno. Karena disanalah kata “republic” diproduksi. Ini bukan kosakata nusantara. Jadi, tak ada satupun orang timur yang mahfum benar Bagaimana konsep republic. Mau tak mau kita harus lihat pada filosof Yunani Kuno. Pada Plato dan Aristoteles.

Aristoteles, dalam kitabnya “Politik”, lebih kejam dalam mengecam perilaku riba. Aristoteles menyebut, pembungaan uang adalah perbuatan jahat. “Pedagang kelas rendah itu sangat dibenci dengan alasan: ia menghasilkan keuntungan dari uang itu sendiri…Uang sebagai alat pertukaran: riba (usury) mencoba membuatnya bertambah.” Aristoteles menyebutnya menghasilkan “uang dari anak uang.” “Oleh karena itu, kita dapat mengerti mengapa Riba (usury) adalah hal yang paling tidak alamiah dari semua bentuk pendapatan,” kata Aristoteles. Guru dari Alexander The Great itu sangat mengecam perbuatan riba dan perilaku riba.

Begitu juga Plato. Dia memiliki kitab ‘Republik”. Dari sinilah Republik Romawi memulai. Karena terkesima konsep republic dari masa Yunani Kuno. Plato juga tak setuju dengan riba. Republik, menurut Plato, negara haruslah bersendikan keadilan, kearifan, keberanian atau semangat dalam pengendalian diri dalam menjaga keserasian hidup bernegara. Keserasian hidup bernegara itu, menurut Plato, salah satunya harus menjaga keadilan dalam perdagangan. Dan bentuk perdagangan, tentu bukanlah riba.

Dalam kitabnya, “The Laws”, Plato mengecam keras riba. “Kami mengatakan bahwa di negara bagian tidak ada emas atau perak, juga tidak boleh ada banyak penghasil uang melalui perdagangan kasar atau riba atau penggemukan hewan gelded………….” Dari kitab itu, Plato menunjukkan ketidaksetujuannya dengan perilaku riba dalam perdagangan. Maka, riba jelas sangat tidak bersesuaian dengan bentuk negara republik.

Karena Plato, Asristoteles, Cicero, inilah konseptor bentuk negara Republik. Mereka yang memiliki modul Bagaimana Republik dijalankan. Romawi sampai sebelum era Kaisar Oktavianus, mempraktekannya.

Indonesia, mendeklarasi sebagai negara berbentuk Republik. Ini warisan dari “the founding fathers” sejak dulu. Tapi penentuan bentuk republik, dilakukan secara voting dalam sidang PPKI. Mereka berdebat tentang Bagaimana bentuk negara Indonesia kedepan: kerajaan atau republic. Hasil voting memutuskan: republik. M Yamin menjelaskan bahwa bentuk republik, seperti yang sudah diketahui umum.

Tafsir bentuk negara republik, tentu bukan merujuk pada Mpu Tantular atau Mpu Prapanca. Melainkan harus merujuk pada Plato, Aristoteles dan Cicero. Mereka yang memiliki kitab “Republik.”

Sementara Plato sampai Cicero, mereka menganggap riba adalah perbuatan kejam. Tentu itu tak sesuai dengan bentuk negara republik. Dari situ, maka bentuk negara republik haruslah memuat aturan hukum yang anti riba.

Sementara Code Civil, yang diadopsi dari Code Napoleon, dibawa Hindia Belanda menjadi Burgelijk Wetboek, inilah klausul yang banyak mengatur legalisasi pasal riba. Inilah KUH Perdata, yang sampai kini masih digunakan.

Tim Hukum Masyumi melakukan uji materil KUH Perdata berkaitan pasal riba ke Mahkamah Konstitusi. Ini untuk menyadarkan kembali bagaimana bentuk negara republik harus dijalankan. Sayang, MK berpikiran sempit. Seolah uji materil itu bentuk “intoleransi.” Padahal klausul riba dalam aturan hukum itulah bentuk intoleransi. Karena agama mengharamkan riba. Sementara Plato, Aristoteles, Cicero, mereka semua menentang riba. Merekalah yang paling tahu Bagaimana bentuk republik. Maka, republic itu haruslah anti riba. “Riba adalah tidak fitrah,” kata Aristoteles. Ian Dallas, ulama besar dari Eropa menyebutkan, “Republik adalah fitrah.” Aturan umum. Bukan “res privata.” Melainkan “res publica.”

Terbukti, kala pasal riba diadopsi, sejak VOC hingga oligarkhi, mereka yang Berjaya. Tapi Plato meyakini, “Mereka tak Bahagia,” katanya dalam “Republik.” Karena Al Quran telah menyebutkan, pelaku riba tak akan bisa berdiri tegak. Mereka seperti orang kesurupan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain