Jakarta, Aktual.com – Pendapatan negara di tengah pandemi Covid-19 terus terkontraksi. Sementara dari waktu ke waktu, kebutuhan dana penanganan Covid-19 terus membengkak. Pemerintah berupaya agar ekonomi semakin tidak tertekan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (16/6/2020), mengatakan, ekonomi hampir semua negara diproyeksikan tumbuh negatif pada triwulan II-2020, termasuk Indonesia. Kontraksi cukup dalam bakal terjadi karena daerah-daerah penopang pertumbuhan ekonomi menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini ditopang Jawa yang berkontribusi 58-60 persen. Sedangkan kontribusi konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57 persen atau Rp9.000 triliun. Dari angka itu, sekitar Rp5.000 triliun disumbang Jawa, terutama DKI Jakarta.
”Pembatasan sosial yang restriktif di Jawa, terutama DKI Jakarta, memengaruhi kinerja ekonomi pada triwulan II-2020 hingga diperkirakan minus 3,1 persen. Resesi bisa terjadi jika ekonomi triwulan III-2020 masih tumbuh negatif,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Tekanan ekonomi selama pandemi Covid-19 terefleksi dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Realisasi pendapatan negara per Mei 2020 sebesar Rp664,3 triliun atau tumbuh minus 9 persen secara tahunan. Hampir semua pos pendapatan negara terkontraksi, kecuali bea dan cukai yang tumbuh 12,4 persen.
Realisasi penerimaan pajak per Mei 2020 sebesar Rp444,6 triliun, tumbuh minus 10,8 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Adapun realisasi penerimaan negara bukan pajak Rp136,9 triliun atau tumbuh minus 13,6 persen.
Sri Mulyani mengatakan, kontraksi pendapatan negara pada Mei lebih dalam daripada Maret dan April. Hampir semua jenis pajak utama tumbuh negatif selama periode Januari-Mei 2020. Kegiatan produksi melambat akibat terbatasnya pasokan bahan baku impor dan pembatasan kegiatan produksi akibat Covid-19.
Mei adalah bulan terberat yang dialami dunia usaha di semua sektor. Kebijakan pemerintah diarahkan untuk mengelola risiko penurunan ke bawah (downside risk) agar tidak semakin buruk. Penyaluran bantuan sosial dan stimulus bagi dunia usaha diharapkan mampu menahan laju penurunan ekonomi.
”Jika tidak ada lonjakan kasus Covid-19, pertumbuhan ekonomi akan kembali positif pada triwulan III-2020. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 berkisar 0-1 persen,” ucapnya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyatakan, ekonomi triwulan II-2020 diproyeksikan tumbuh minus 2-3 persen. Ini terindikasi dari rendahnya indeks kepercayaan konsumen, penjualan eceran, nilai tukar petani, dan penjualan otomotif.
Hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia pada April 2020 menyebutkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) sebesar 190,7. Pertumbuhan indeks penjualan eceran itu minus 16,9 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Penurunan penjualan eceran itu terjadi di seluruh kelompok, terutama subkelompok sandang yang minus 70,9 persen serta barang budaya dan rekreasi yang minus 48,5 persen.
Dalam survei tersebut, BI menyebut penurunan pertumbuhan penjualan eceran yang cukup dalam terjadi di Jakarta, yaitu minus 46,7 persen, Banjarmasin minus 36,6 persen dan Denpasar minus 31,8 persen.
”Masih diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (pada April 2020) di sejumlah daerah berdampak pada penurunan permintaan. Ini menyebabkan pertumbuhan eceran masih terkontraksi,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko, dalam siaran pers, Selasa.
BI memproyeksikan penjualan eceran masih akan menurun pada Mei 2020. Hal ini tecermin dari prakiraan pertumbuhan IPR Mei 2020 sebesar minus 22,9 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Penurunan itu masih akan berlanjut hingga tiga bulan mendatang atau hingga Juli 2020. Namun, pada enam bulan mendatang atau Oktober 2020, pertumbuhan penjualan eceran diperkirakan akan meningkat. Hal ini seiring dengan geliat aktivitas perkenomian yang diperkirakan pulih sejalan dengan rencana penerapan normal baru.
Mitigasi resesi
Josua berpendapat, kontraksi ekonomi dapat terjadi pada triwulan III-2020 jika normalisasi kegiatan ekonomi tidak diikuti dengan peningkatan kedisiplinan masyarakat yang menyebabkan PSBB kembali diberlakukan. ”Jika implementasi tatanan normal baru berjalan baik, pemulihan ekonomi akan mulai terlihat pada triwulan IV-2020,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Josua, pemerintah perlu mempercepat penyerapan stimulus ekonomi ke sektor usaha dan penyaluran jaring pengaman sosial agar ekonomi tidak semakin tertekan. Kecepatan pemulihan ekonomi sangat dipengaruhi keberhasilan pemerintah mencegah gelombang kedua Covid-19. Proses pemulihan ekonomi akan lebih sulit dan lama jika resesi terjadi.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan kembali meningkatkan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk memitigasi resesi. Utamanya untuk program restrukturisasi kredit padat karya, penjaminan modal kerja, serta belanja pemerintah daerah berupa dana insentif dan hibah.
Biaya penanganan Covid-19 diperkirakan Rp695,2 triliun. Untuk bidang kesehatan dialokasikan Rp87,55 triliun dan program PEN Rp607,65 triliun. Anggaran PEN meningkat Rp18 triliun dari proyeksi sebelumnya Rp589,65 triliun. Defisit APBN 2020 berpotensi kembali melebar.
”Situasi terus berubah sehingga postur APBN ikut bergerak. Pemerintah menyiapkan semua kemungkinan agar tidak terjadi efek domino akibat Covid-19,” katanya.
Menurut ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, likuiditas yang memadai saat ini sangat dibutuhkan bank untuk melakukan restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19, khususnya UMKM.
Dukungan berupa penempatan dana untuk restrukturisasi kredit padat karya dan penjaminan modal kerja diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri pelaku usaha untuk kembali memulai aktivitas ekonomi. Pertumbuhan kredit juga diharapkan meningkat dari April 2020 yang hanya tumbuh 5,73 persen.
Oleh: KARINA ISNA IRAWAN/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
Dikutip dari Kompas.id