New York, Aktual.com – Hal yang tidak akan pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Joe Biden, justru terjadi di awal masa pemerintahan Presiden Donald Trump, dimana Amerika Serikat (AS) menolak resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diajukan Ukraina dan negara-negara Eropa.

Resolusi yang berisi kecaman terhadap Rusia yang terus menginvasi Ukraina selama tiga tahun sehingga memberikan dampak kehancuran bagi Ukraina. Selain itu, resolusi tersebut berisi tuntutan kepada Rusia agar segera, sepenuhnya, dan tanpa syarat menarik seluruh pasukan militernya dari wilayah Ukraina dalam batas-batas yang diakui secara internasional.

Resolusi yang diberi judul ’Mengedepankan perdamaian yang komprehensif, adil, dan abadi di Ukraina’ digelar Majelis Umum PBB pada Senin malam (24/2), waktu setempat. Hasilnya, dalam pemungutan suara didapatkan 93 suara mendukung resolusi itu, 65 suara memilih abstain, dan 18 suara termasuk AS menolak resolusi tersebut. Padahal sebelumnya, AS selalu mendukung resolusi PBB yang mengutuk atau menekan Rusia dalam menginvasi Ukraina.

Penolakan terhadap resolusi tersebut membuktikan tindakan nyata pemerintahan AS di bawah Trump yang menunjukkan pergeseran drastis kebijakan luar negeri AS yang sebelumnya mendukung habis-habisan Ukraina melawan invasi Rusia. Penolakan terhadap resolusi ini menempatkan AS berseberangan dengan sekutu-sekutunya di Eropa dan justru sejalan dengan agresor dalam perang ini.

Meski resolusi PBB yang disahkan Majelis Umum bersifat tidak bersifat mengikat, dokumen ini tetap memiliki bobot politik yang mencerminkan pandangan global terkait konflik Ukraina. Berbeda dengan Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum tidak memiliki mekanisme hak veto.

Di hari yang sama, Majelis Umum PBB juga memberikan suara pada resolusi PBB lain terkait perang di Ukraina. Rancangan yang awalnya diajukan AS bersifat netral dan tidak mengecam Rusia, tetapi Eropa menambahkan kritik terhadap Moskow serta menekankan integritas teritorial Ukraina sebelum mengajukannya untuk pemungutan suara. Resolusi PBB ini akhirnya disahkan dengan 93 suara mendukung, 73 abstain, dan delapan suara menolak, sementara AS memilih abstain karena perubahan tersebut.

Seorang sumber diplomatik menyebutkan bahwa resolusi ini menyoroti kedukaan atas hilangnya begitu banyak nyawa dalam konflik Rusia-Ukraina, serta menegaskan kembali tujuan PBB untuk menjaga perdamaian, serta menyerukan pengakhiran konflik yang cepat tanpa menyebut integritas teritorial Ukraina.

Dilansir dari berbagai sumber, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan bahwa AS kini menyadari bahwa jalan menuju perdamaian di Ukraina tidak mudah. ”Banyak pihak yang ingin menunda perdamaian selama mungkin, tetapi kita tidak boleh terhalang oleh hal ini,” kata Nebenzia.

Sedangkan Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea, menegaskan pentingnya resolusi PBB ini sebagai langkah awal menuju perdamaian. ”Resolusi ini menempatkan kita di jalur menuju perdamaian. Ini adalah langkah awal yang penting, dan kita semua harus bangga. Kita harus menggunakannya untuk membangun masa depan yang damai bagi Ukraina, Rusia, dan komunitas internasional,” kata Shea.

Sementara itu, para diplomat Eropa melontarkan respons keras terhadap AS dan hasil pemungutan suara tersebut. ”Tidak akan ada perdamaian dan keamanan di mana pun jika agresi dibiarkan dan hukum rimba yang menang,” kata Duta Besar Prancis untuk PBB, Nicolas de Rivière.

Hal senada disampaikan Duta Besar Inggris untuk PBB, Barbara Woodward. ”Tidak ada yang lebih menginginkan perdamaian selain Ukraina, tetapi syarat-syarat perdamaian itu penting. Hanya perdamaian yang adil, yang menghormati prinsip-prinsip dalam Piagam PBB, yang akan bertahan lama,” kata Woodward.

Hal yang sama juga disampaikan senator dari Partai Republik John Curtis yang mengkritik keputusan AS menolak resolusi PBB itu. Menurutnya, pergeseran posisi ini pun menunjukkan bahwa cita-cita kebebasan dan demokrasi Amerika kini telah ikut bergeser.

”Saya sangat terganggu dengan pemungutan suara di PBB hari ini yang menempatkan kami di sisi yang sama dengan Rusia dan Korea Utara. Mereka bukan kawan kami,” kata Curtis di akun X.

Untuk diketahui, sejak menjabat sebagai Presiden AS, Trump langsung ”merangkul” Putin dengan mengajaknya berunding berdua soal Ukraina bahkan meneleponnya langsung, hal yang tidak akan pernah dilakukan Joe Biden.

Bukan hanya itu, delegasi AS dan Rusia yang dipimpin menteri luar negeri masing-masing negara bahkan melakukan perundingan awal untuk membahas peningkatan hubungan bilateral dan mempersiapkan negosiasi guna mengakhiri konflik di Ukraina, di Riyadh Arab Saudi pada 18 Februari lalu, tanpa melibatkan Ukraina dan sekutu Eropa.

(Indra Bonaparte)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain