Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Jakarta, Aktual.com — “Aset melonjak Rp800 triliun”, judul satu harian nasional pekan silam. Angka ini adalah jumlah kenaikan aset BUMN sepanjang 2015. Sumbangan terbesar atas lonjakan aset itu diperoleh dari revaluasi aset 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya.

Seperti diketahui, pada paket deregulasi ekonomi jilid V, 19 Oktober 2015, pemerintah memberi insentif perpajakan bagi perusahaan yang bermaksud melakukan revaluasi aset. Ketentuan perpajakan yang selama ini menjadi sandungan serius revaluasi aset, pada paket kelima ini diamputasi dengan signifikan.

Pada aturan sebelumnya, bila perusahaan merevaluasi asetnya, maka dikenai pajak selisih aset paska revaluasi 10%. Berdasarkan kebijakan baru, besarnya relaksasi berlaku sesuai dengan waktu dilakukannya revaluasi. Buat perusahaan yang merevaluasi asetnya di semester II 2015, kena tarif pajak penghasilan (PPh) 3%. Bila dilakukan di semester pertama 2016 pajaknya 4%. Nah, jika dilakukan pada semester kedua 2016, pajaknya sebesar 6%. Setelah periode itu kembali ke tarif normal.

Kebijakan revaluasi aset ini buah dari gagasan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang disetujui dan menjadi keputusan sidang kabinet terbatas di Istana sebelumnya. Waktu itu, dia berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo dan para menteri lainnya, tentang perlunya ravaluasi aset. Lewat cara ini, dia yakin ekonomi dapat dipacu hingga tumbuh di atas 6%. Saat ini ekonomi hanya tumbuh 5,02% di bawah target yang 5,5%.

Dulu di sekolah diperkenalkan pribahasa, sekali dayung dua-tiga pulai terlampaui. Artinya, dengan melakukan satu perkerjaan maka dua-tiga tujuan tercapai. Dengan revaluasi aset, maka pribahasa itu bisa berubah menjadi sekali dayung enam-tujuh pulau terlampaui. Ya, sedikitnya ada enam-tujuh benefit yang bisa diraih melalui revaluasi aset perusahaan.

Benefit pertama, revaluasi dengan sendirinya membuat nilai aset perusahaan naik hingga berkali lipat. Banyak aset perusahaan, terutama BUMN dan BUMND, yang diperoleh sejak belasan bahkan puluhan tahun silam. Tentu saja, nilai aset itu kini sudah jauh lebih tinggi ketimbang saat dibeli.

Aset berupa tanah, misalnya. Di neraca perusahaan, nilai tanah biasanya tercantum tetap sebesar harga saat dibeli. Padahal kenyataannya harga tanah naik terus naik dengan konsisten. Begitu juga untuk gedung, apalagi yang berlokasi strategis dan secara fisik masih kokoh, nilainya tentu makin lama makin naik. Makanya yang perlu direvaluasi biasanya objek utamanya adalah tanah dan gedung atau bangunan lainnya.

Masih bicara soal tanah, bisa dibayangkan berapa kenaikan lahan milik PT Jasa Marga (Persero) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Tanah-tanah kedua BUMN itu ada yang diperoleh sejak 40-50 tahun lalu. Tentu harganya kini sudah naik belasan bahkan puluhan kali lipat.

Kedua, jika (sebagian dari) selisih aset paska revaluasi disuntikkan ke modal, maka modal perusahaan melonjak. Bonafiditas perusahaan yang modalnya besar tentu lebih baik daripada yang pas-pasan. Kemampuan perusahaan untuk menutup risiko juga bertambah.

Ketiga, kinerja keuangan yang membaik ini akan memberi leverage perusahaan dalam menjaring dana secara massif dan, yang lebih penting lagi, murah. Berbekal modal yang kuat, perusahaan bisa meraup dana segar lewat initial public of fering (IPO) saham, secondary public offering (SPO) saham, rights issue, penerbitan obligasi, juga pinjaman bank.

Keempat, dengan modal dan pendanaan yang kuat, perusahaan bisa melakukan berbagai aksi korporasi. Mulai dari ekspansi sampai diversifikasi usaha. Ini artinya, akan lebih banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Degan begitu, soal pengangguran yang selama ini jadi problem pemerintah, bisa ikut teratasi.

Kelima, revaluasi aset memberi penerimaan bagi pemerintah dari PPh. Sampai akhir 20015 saja, pemerintah meraih Rp10,6 triliun dari pajak kenaikan aset BUMN yang mencapai Rp800 triliun. Angka ini belum termasuk tambahan penerimaan PPh hasil revaluasi aset PT PLN (Persero). Maklum, sebelumnya perusahaan setrum negara ini sudah menyetor pajak Rp6,2 triliun sebagai konsekwensi lonjakan asetnya. Pasca revaluasi, aset PLN naik jadi RP800 riliun dari sebelumnya Rp600 triliun.

Masih soal PLN, ternyata final revaluasi aset yang dilakukan menunjukkan lonjakan nilai asetnya mencapai Rp500 trilliun. Dengan demikian, PLN harus total PPh sebesar Rp14,2 triliun. Sebelumnya, untuk kenaikan aset senilai Rp200 triliun, PLN telah menyetor ke kas negara sebesar Rp6,2 triliun.

Jumlah PPh yang jadi kewajiban PLN sebesar Rp14,2 triliun itu dengan asumsi pajak yang harus dibayar sebesar 3%. Jika pemerintah ngotot mengenakan pajak sebesar 4% (dengan pertimbangan revaluasi aset dilakukan setelah semester pertama 2016), maka tentu jumlah pajaknya akan lebih besar lagi.

Mengenai soal ini, Menko Rizal Ramli berpendapat, sebaiknya Pemerintah memberi keringanan kepada PLN. Pembayaran PPh oleh PLn yang Rp14,2 triliun sudah bagus. Ini merupakan penerimaan yang sangat berarti bagi pemerintah. Dengan memaksa membayar PPh 4% karena revaluasi dilakukan pada semester pertama 2015, bisa mengurangi kemampuan kas perusahaan.

“Saya kira pemerintah memperoleh Rp14,2 triliun sudah cukup bagus. Akan jauh lebih baik bila pemerintah lebih menggalakkan perusahaan lainnya melakukan revaluasi aset, daripada memaksa PLN menaikkan setoran PPh-nya dari selisih revaluasi aset,” ujar Rizal Ramli.

Benefit keenam, seperti disampaikan sebelumnya, relaksasi perpajakan terkait revaluasi aset ini bakal memacu pertumbuhan ekonomi. Paling tidak, pada tahap awal akan ada banyak profesi yang ketiban rejeki. Yang sudah pasti para appraisal alias penilai aset. Lalu, akuntan publik, notaris, konsultan pajak juga dipastikan ikut kecipratan rejeki. Begitu banyak pekerjaan revaluasi aset, tentu membuat berbagai perusahaan penunjang itu jadi sibuk. Bahkan mereka juga akan merkerut tenaga/profesional baru. Artinya, terjadi penyerapan tenaga kerja.

Ketujuh, dengan menggelembungnya aset dan melonjaknya modal, perusahaan punya leverage untuk mengail dana segar. Di sini sejumlah provesi lain juga ikut menikmati. Mereka di antaranya para underwriter, manajer investasi, bahkan Public Relations dalam upayanya menikkan citra positif perusahaan.

Hebatnya lagi, mereka akan rajin promosi ke dalam dan luar negeri tentang perusahaan yang bersangkutan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Ini jelas bisa menjadi promosi gratis sekaligus berkredibilitas tinggi. Gratis, karena tidak perlu mengalokasikan bujet mahal untuk promosi dan beriklan. Kredibilitas tinggi, karena yang berpromosi bukanlah pejabat birokrasi. Promosi yang dilakukan sesama swasta, membuat tingkat kepercayaan calon investor bisa dipastikan lebih tinggi.

Revaluasi aset memang memberi banyak sekali benefit. Sayangnya, hingga kini jumlah perusahaan yang melakukan terbatas. Mereka umumnya BUMN dan perusahaan skala besar. Sedangkan perusahaan kelas menengah-kecil relatif belum.
Untuk itu, pemerintah harus lebih giat mensosialiasikan revaluasi aset, khususnya kepada para pelaku usaha kecil menengah.

Dengan demikian, manfaat revaluasi aset bisa juga mereka nikmati. Semakin banyak perusahaan yanng merevaluasi asetnya, makin cepat ekonomi Indonesia tumbuh dan terbang tinggi.

 

Edy Mulyadi

Oleh : Edy Mulyadi

Direktur Program CEDeS (Centre for Economic and Democracy Studies)

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan