Jakarta, Aktual.com – Forum Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu mengecam sikap Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara yang akan merevisi dua Peraturan Pemerintah No 52 dan No 53 tahun 2000. Terutama yang terkait dengan interkoneksi dan network sharing, dengan merevisi kebijakan biaya interkoneksi.

Sikap Rudiantara ini bagian dari liberalisasi ugal-ugalan, salah satunya telekomunikasi. Sebelumnya liberalisasi di investasi dan keuangan sudah sangat masif, melalui belasan paket kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) dalam dua tahun ini.

“China adalah negara yang sangat diuntungkan kebijakan Pemerintahan Jokowi-Kalla itu. Salah satu sektor strategis di Indonesia yang telah menjadi target dari China untuk dikuasai adalah sektor telekomunikasi dan informatika,” ujar Sekjen FSP BUMN Bersatu, Tri Sasono, di Jakarta, Selasa (25/10).

Kata Tri, kongkalikong China dengan Menkominfo itu terlihat dari perusahaan telekomunikasi adal Tirai Bambu itu, China-Telcom. Dan revisi kedua PP tersebut bagian dari untuk memuluskan penguasaan sektor telekomunikasi tersebut.

Untuk diketahui, PP Nomor 52 tahun 2000 mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 yang mengatur tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

“Kami menduga terjadi ‘persekongkolan’ antara perusahaan telekomunikasi dari China, yaitu China Telcom dengan Kementerian Telekomunikasi dan Informasi untuk merevisi kedua PP tersebut,” tandasnya.

Diduga, kata dia, China Telecom Corporation Limited mengajukan syarat untuk membeli saham salah satu operator jasa telekomunikasi seluler kedua dan ketiga terbesar di Indonesia, yaitu Kementerian Kominfo harus merevisi PP 52 dan 53 sebagai sebuah syarat di dalam perjanjian.

“Dari data yang kami miliki, dalam conditional sale and purchase agreement yang di tandatangani pihak China Telecom Corporation Ltd itu, dan kedua perusahaan operator Jasa telekomunikasi seluler pada bulan Juni 2016 ada indikasi persekongkolan itu,” jelasnya.

Karena, dalam klausul Pasal 3 perjanjian tersebut dinyatakan bahwa pihak penjual memberikan jaminan dan pernyataan untuk membantu pihak China Telecom. Di mana kedua operator telepon seluler tersebut dapat menjamin pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk revisi PP 52 dan PP 53 terkait spectrum sharing antara Telkom Group dan operator lainnya.

“Maksud dan tujuan klausul pasal 3 tersebut, agar pihak China Telecom, setelah mengambil alih saham kedua perusahaan operasi jasa telekomunikasi tanpa perlu mengeluarkan biaya investasi besar untuk penambahan alokasi spectrum frekwensi dan pemerintah harus melakukan revisi PP 52 dan 53,” papar dia.

Padahal, jelas Tri, sesuai ketentuan bagi pemegang lisensi jasa operator telekomunikasi seluler yang dikeluarkan oleh Menkominfo dalam PP 53 tahun 2000 jelas mereka punya kewajiban membangun infrastruktur untuk alokasi spectrum dan tidak diperbolehkan mengunakan alokasi spektrum frekwensi milik operator telekomunukasi lainnya.

Begitu juga, dia menambahkan, revisi PP 52 terkait tarif interkoneksi antar operator (off net) yang juga menjadi klausul yang harus dijamin dengan penurunan tarif interkoneksi oleh pemerintah agar Telecom China dapat menguasai pasar Industri telekomunikasi.

“Tapi enaknya, mereka tanpa harus membangun infrastruktur jaringan untuk menambah pelanggannya itu,” kecam Tri.

Karena itu, dia menegaskan, FSP BUMN Bersatu telah menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menyelidiki dugaan pungutan liar (pungli) dan suap terkait kertas putih berupa revisi PP 52 dan 53 yang diduga dilakukan oleh para pihak-pihak yang berkumpul di Kemenkominfo.

“Mereka diduga dikendalikan oleh pihak China Telecom,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan