Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) dinilai gemar melakukan pengobralan kepada investorĀ asing. Kini giliran sektor telekomunikasi yang berpotensi dimiliki asing setelah PP No 52 dan PP No 53 tahun 2000 soal network sharing ngotot direvisi.
Kedua PP itu adalah, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Menurut Aktivis Petisi 28, Haris Rusly, Presiden Jokowi tak ada habis-habisnya melakukan gerakan “jual negara” kepada asing.
Paket kebijakan ekonomi yang menuju liberalisasi yang dilancarkan pemerintah pun sesungguhnya hanya modus untuk menjual negara untuk dikuasai dan dikontrol oleh asing, tak terkecuali di sektor telekomunikasi.
“Padahal, sektor telekomunikasi adalah sektor yang sangat strategis yang seharusnya dikuasai dan dikontrol sepenuhnya oleh negara melalui BUMN terkait. Sektor telekomunikasi tak bisa dilihat dari aspek kepentingan ekonomi dan bisnis semata,” tegasĀ Haris dalam keterangan media yang diterima, Rabu (16/11).
Baginya, kebijakan pemerintah yang diusung oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi ini sangat fatal sekali. Karena dengan regulasi itu, akan mengundang dan menciptakan kenyamanan bagi investor asing.
Tapi sayangnya, kata dia, pemerintahan Jokowi tanpa banyak pertimbangan menyerahkan kedaulatan sektor strategis tersebut untuk dikuasai dan dikontrol oleh asing.
“Apalagi sektor telekomunikasi ini sangat terkait erat dengan pertahanan dan keamanan nasional. Sehingga, jika sektor ini jatuh dan dikuasai asing, maka pertahanan dan keamanan nasional bangsa Indonesia setiap saat kebobolan oleh infilterasi kepentingan kekuatan asing,” papar dia.
Untuk itu, menurut aktivis Petisi 28 ini, dirinya ikut mengecam rencana Presiden Jokowi melalui Kementerian Negara BUMN dan Kemenkominfo yang menjual kedaulatan sektor telekomunikasi kepada asing, melaui revisi kedua PP itu.
Pertama, kata dia, pihaknya memandang rencana Pemerintahan Jokowi untuk merevisi kedua PP itu hanya mempertimbangkan aspek kepentingan kenyamanan investor asing saja, khususnya investor dari China.
“Akan tetapi, pemerintahan Jokowi tak melihat aspek kepentingan kedaulatan nasional bangsa Indonesia di sektor telekomunikasi,” kecamnya.
Kedua, ada tendensi rencana revisi terhadap kedua PP itu merupakan pesanan dari operator Telekomunikasi asal China. Pasalnya, kedua PP itu akan dijadikan sebagai prasyarat jual-beli operator telekomunikasi agar dengan mudah merebut pasar di Indonesia.
Ketiga, rencana Pemerintah Jokowi untuk merevisi PP 52 dan 53 jelas sangat mengancam kedaulatan, keamanan dan pertahanan NKRI, karena frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai oleh negara menjadi dikuasai dan dikontrol oleh kepentingan asing.
“Untuk itu, kami mendesak Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan Menteri Koordinator Perekonomian, MenBUMN dan Menkominfo untuk menghentikan niat jahat menyerahkan kedaulatan sektor telekomunikasi untuk dikuasai oleh asing itu,” tandas Haris Rusly.
Caranya, kata dia, dengan menghentikan rencana merevisi Peraturan Pemerintah nomor 52 dan 53 itu.
Saat ini, diakui Menkominfo Rudiantara, rancangan kedua PP itu sudah tidak ada lagi di Kemenkominfo. Sekarang posisinya sedang dibahas di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Meski banyak ditentang terutama oleh BUMN Telekomunikasi, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, Rudiantara tak bergeming dan tetap mengusung kebijakan liberalisasi itu.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan