Jakarta, Aktual.com — Panitia Khusus (Pansus) pemberantasan tindak pidana terorisme masih mengkaji Daftar Inventaris Masalah (DIM) dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Terorisme nomer 15 tahun 2003.

Pansus pun memanggil berbagai organisasi baik keagamaan dan HAM untuk mematangkan poin-poinnya. Dalam hal ini mereka menyamakan pandangan bahwa aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat membantu Kepolisian dalam penindakan aksi terorisme dengan syarat.

Direktur Imparsial selaku Lembaga yang bergerak di bidang pengawasan pelanggaran Ham, Al Araf pun sepakat dengan pendapat tersebut. Dengan catatan, guna menumpas kelompok terorisme yang sudah mengancam kedaulatan negara seperti misalnya ISIS, Al-Qaeda dan sebagainya, TNI baru bisa diturunkan. Artinya, Imparsial juga meminta agar aturan soal diperbantukannya Polri oleh TNI dalam draft segera dihapuskan.

Ia menjelaskan, dalam pasal 43 B ayat 1 draft Revisi UU Terorisme disebutkan bahwa kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara republik Indonesia, TNI serta instansi Pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleg lembaha Peerintah non Kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.

Menurut Al Araf, pasal tersebut akan menjadi pasal karet sebab disisi lain bantuan TNI dalam penindakan terorisme juga sudah diatur dalam UU TNI nomor 34 tahun 2004 di pasal 7 ayat 2 dan 3.

“Pasal 7 secara jelas menjelaskan tugas militer selain menjaga pertahanan negara adalah penanganan terorisme saat mengancam kedaulatan negara. Solusinya pasal 43 B yang mengatur militer, dikeluarkan dari revisi Undang-Undangterorisme,” ujar Al Arad di ruang rapat Pansus DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6).

Selain itu menurutnya, terorisme bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa namun menjadi kejahatan yang serius sehingga tidak bisa lagi disamakan penegakannya dengan aksi kejahatan luar biasa. Oleh karenanya, kata dia, model penindakan terorisme yang paling tepat ialah dengan “criminal justice system” dimana sistem tersebut mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai pembinaan.

“Agenda revisi UU ini jangan digeser ke ‘war model system’ dan ‘internal security model’ sebab akan abuse of power (penyalahgunaan wewenang),” tegasnya.

Sementara, terkait wacana sanksi pencabutan kewarganegaraan, Imparsial mengaku tak menyetujuinya. Sebab hal itu akan menjadi percuma lantaran dalam aturannya, meski tak memiliki kewarganegaraan namun yang tetap bertanggung jawab memproses hukum terorisme ialah negara terakhir yang bersangkutan singgah.

“Akan berpotensi statesless. Tidak boleh diberikan pencabutan secara sewenang-wenang,” pungkas Al Araf.

Menanggapi pandangan Imparsial, Wakil Ketua Pansus tindak pidana terorisme, Supiadin menghimbau agar usulan pemerintah tentang RUU ini dapat dilihat sebagai upaya komprehensif untuk mengatasi tindakan terorisme. Sehingga bukan untuk memanfaatkan TNI masuk ke dalam penindakannya.

Agar tak tumpang tindih, Ia menyarankan agar dibuat turunan UU-nya yang memerintahkan secara tegas bahwa TNI dapat turun tangan dalam penindakan terorisme.

“TNI harus buat aturan tentang penanggulangan terorisme dan TNI rumus sendiri definisi terorisme. Yang kami takutkan nanti rebutan karena nanti bilang ini wilayah kami dsb. Jadi kita buat saja ntah perpres atau lainnya karena ada turunan,” kata Supiadin pada kesempatan yang sama.

Hal ini, lanjutnya, melihat dari kejadian yang ada dimana TNI turun tangan dalam operasi Tinombala namun regulasinya belum ada yang mengatur.

“UU mengamanatkan supaya ada UU tersendiri, atau minimal PP soal perbantuan TNI kepada Polri. Ini yang kami minta,” tutup dia.

Artikel ini ditulis oleh: