Pedagang melayani pembeli ayam di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Selasa (9/8). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil 12 perusahaan yang diduga melakukan praktik kartel dengan mengatur stok daging ayam. Dua belas perusahaan tersebut diduga bersekongkol memusnahkan enam juta ekor bibit ayam. Praktik ini diduga sebagai penyebab naiknya harga daging ayam beberapa waktu lalu. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Rencana revisi UU No 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jangan sampai mematikan bisnis.

Mestinya, aturan anti monopoli itu bisa menciptakan iklim fair play dalam berbisnis. Sehingga tercipta keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Menurut mantan Ketua dan Anggota KPPU, Sutrisno Iwantono, UU Anti Monopoli sah-sah saja mau direvisi, karena sudah tak sesuai dengan dinamika yang ada. Dalam hal ini perlu penguatan peran KPPU.

“Dalam revisi itu, denda yang akan direvisi oleh KPPU dari yang semula Rp25 miliar menjadi 30% dari omset dianggap terlalu besar. Ini berpotensi mengganggu iklim usaha,” ujar Iwan dalam diskusi ‘Revisi UU No 5 Tahun 1999: Studi Kasus Kartelisasi Unggas’, di Jakarta, Kamis (27/10).

Karena pada dasarnya, kata Iwan, azas dan tujuan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu bukanlah menghukum atau mematikan dunia usaha, tetapi menciptakan iklim fair play dalam berbisnis.

“Kebijakan itu sangat kontra produktif bagi ekonomi, sebab bisa membuat pelaku usaha gulung tikar. KPPU harus lebih hati-hati terkait denda ini,” ujarnya.

Menurutnya, denda seharusnya dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari perilaku tidak sehat. Dari keuntungan inilah kemudian dikalikan 1 kali, 2 kali, 3 kali, atau berapa kali, sesuai dengan berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan.

Lebih lanjut, yang menjadi kunci dari hampir seluruh pasal-pasal dalam UU ini adalah bersifat rule of reason dan sangat sedikit yang perse elegal atau dipersyaratkan tentang terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.

“Sehingga, KPPU hanya boleh menyatakan pelaku usaha dianggap melanggar pasal-pasal dalam UU ini, apabila pelaku usaha terbukti melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” jelas Iwan.

Terkait kewenangan KPPU, Iwan menyayangkan lembaga pengawas usaha itu yang akan memiliki kewenangam menggeledah, menyadap, dan menyita di tempat.

“Kewenangan itu bisa melebihi KPK, polisi, jaksa atau hakim. Mestinya, KPPU cuma memiliki fungsi pelapor, pemeriksa, dan penuntut,” jelasnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU), Krissantono menambahkan, selama ini sikap KPPU dalam menentukan putusan denda sangat tak jelas.

“Harapan para pelaku usaha, mestinya revisi ini harus mengatur penetapan denda dengan kaidah perhitungan yang rasional dan masuk akal,” tegas dia.

Padahal, dengan adanya sikap kesewenang-wenangan KPPU dalam memutuskan kartel, menurutnya, bisa menurunkan tingkat kepercayaan pelaku usaha kepada pemerintah.

“Saat ini banyak keputusan-keputusan bisnis yang ditunda, karena kami merasa tidak nyaman lagi berusaha,” ujarnya.

Ratna Sari Loppies, Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Kerjasama Perdagangan menambahkan, rancangam revisi UU ini justru berpotensi tidak melindungi pelaku usaha kecil. Bahkan, RUU itu sangat terindikasi pro importir dan tak melindungi pelaku usaha dalam negeri.

“Jadi ada pertarungan produsen tepung lokal dengan pengusaha impor tepung yang melakukan praktik dumping. Sehingga pelaku kecil yang akan rugi. Sementara dengan kondisi itu, yang kecil-kecil itu tak berani melakukan merger karena dilarang oleh KPPU nantinya,” tandas Ratna.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka